Dokumen Gereja:
 VITA CONSECRATA - TENTANG HIDUP BAKTI

PENGALAMAN ALLAH DALAM HIDUP RELIGIOUS
Sebuah refleksi dan pendalaman hidup religious

© Hak cipta ada pada Penulis Rm. Dr. Yohanes Indrakusuma OCarm – 21 Maret 1975.

Teks ini semula ditulis sebagai bahan untuk prasaran KONGGAR (sekarang KOPTARI) bulan September 1975. Karena sesuatu hal karangan ini tidak jadi dipakai. 

PENDAHULUAN: Tempat kaum religious dalam Gereja

Biarpun Gereja di Indonesia, termasuk semua tarekat biarawan-biarawatinya, tidak luput dari kesukaran-kesukaran yang sedang melanda Gereja di seluruh dunia, namun ada gejala-gejala lain yang cukup memberi harapan untuk masa depan, asal Gereja, khususnya para pemimpinnya, tahu menanggapi tanda-tanda jaman ini. Disamping krisis-krisis besar yang sedang kita alami dewasa ini, yang rupanya belum mencapai titik terdalamnya, ada tanda-tanda yang menyatakan bahwa hidup kebiaraan sebagai tanda penyerahan diri yang mutlak kepada Tuhan, tetap menarik banyak pemuda-pemudi dewasa ini. Mereka tetap melihat makna penyerahan diri itu, arti hidup yang dibaktikan kepada Allah semata-mata di atas segala sesuatu.

Juga kaum awam pada umumnya tetap mempunyai penghargaan besar atas diri kaum rohaniwan-rohaniwati sebagai pengejawantahan nilai-nilai rohani. Oleh sebab itu pula dapat dimengerti kekecewaan mereka yang amat besar, bila dalam diri para religious itu mereka tidak mendapatkan tanda-tanda yang mereka harapkan. Juga seringkali mereka tampak haus akan nilai-nilai rohani, tetapi sering sukar sekali menemukan seorang yang dapat memberikan bimbingan yang memuaskan. Namun bila mereka tidak dapat menemukan para religious dan imam, rohaniwan/wati tidak mengungkapkan nilai-nilai rohani seperti seharusnya, bukankah sudah wajar bila penghargaan mereka menurutn, justru karena dikecewakan.

Dengan demikian juga banyak pemuda-pemudi menjadi ragu-ragu untuk membaktikan diri kepada Allah dalam cara hidup demikian itu, biarpun sebenarnya merasa amat tertarik juga. Oleh sebab itu, perlulah kita menyadari pangillan kita yang terdalam, dan kalau perlu mengadakan metanoia, pertobatan yang mendalam pula.

Dalam Konsili Vatikan II yang lalu, Gereja telah mengadakan refleksi tentang dirinya sendiri. Dalam refleksi itu disadarinya bahwa ia adalah manifestasi dan aktualisasi cintakasih Allah bagi umat manusia (GS 45), suatu umat yang berpusat pada Bapa (LG 2). Dalam dunia ini Gereja bertugas menyatakan misteri Allah (GS 41), misteri cintakasihNya (LG 45). Karena menyatakan misteri Allah, Gereja sekaligus menyatakan ARTI TERDALAM hidup manusia, memberitahukan panggilanNya di dunia ini (GS 3, 21). Oleh sebab itu Gereja mempunyai panggilan untuk mengarahkan seluruh dunia kepada Kristus (AA 2). Dengan demikian tugas Gereja tidak berhenti pada dunia ini melainkan mengarah ke kepenuhan eskatologis. Di situ semua manusia akan dpersatukan di bawah satu Kepala, yaitu Kristus, ddalam suatu dunia baru, di mana dunia ini memperoleh kepenuhannnya (AA 5).

Jadi pada hakekatnya Gereja itu bersifat eskatologis. Oleh sebab itu segala aktivitasnya diarahkan ke tujuan tersebut. Segala karyanya: pewartaan Kabar Gembira, karya social, usaha untuk memperbaiki nasib manusia, semuanya itu bertujuan menghantarkan manusia kepada tujuan akhirnya, tujuan sejatinya, ialah Allah. Manusia memang diciptakanuntuksuatu tujuan yang membahagiakan, suatu tujuan adi-kodrati,abadi, yakni untuk hidup dalam kemesraan Allah sendiri (IM 6; GS 18, 21, 51; AG 2). Sesungguhnya Allahlah asal dan tujuan manusia (MA 1; GS 24, 41, 920. Berhubung dengan panggilannya ini  Gereja berusaha menyatakan semua aspeknya, lebih-lebih aspek yang mengingatkan semua manusia akan tujuan hidupnya, khususnya dalam dunia yang dilanda sekularisme ini.

Gereja dipanggil untuk menyatakan cintakasih Kristus dengan menghibur orang malang, mengobati yang sakit, member arti pada hidup kaum miskin, khususnya ingin solider dengan mereka, sehingga Gereja bukan hanya menjadi HAMBA kaum miskin, melainkan menjadi GEREJA KAUM MISKIN. Semuanya ini dengan tujuan, agar supaya setelah dibebaskan dari hidup yang menekan pundak mereka, mereka dapat melihat dan merba cintakasih Allah yang menjadi sumber segalanya itu.

Akan tetapi Gereja juga dipanggil untuk memberikan kesaksian istimewa tentang primat Allah yang tampak dalam seluruh hidup Kristus. Demikian pula kesaksian tentang persatuan mesra Kristus dengan BapaNya, dan dalam Dia, persatuan semua manusia dengan Allah. Sebab bukankah akhirnya semua karya penginjilan serta karya-karya lainnya justru mengarah kepada persatuan yang mesra ini, yang justru merupakan inti hidup abadi? Dan inilah hidup abadi: Mengenal Bapa satu-satunya Allah yang benar, dan Dia yang diutusNya, Yesus Kristus (Yoh 17: 3). Dan mengenal Allah, dalam Kitab Suci berarti, memasuki suatu aliran hidup besar yang bersumber pada Allah dan kembali lagi kepadaNya. Agar supaya Gereja seluruhnya selalu sadar akan penggilannya yang luhur ini, sejak semula Roh Kudus telah membangkitkan orang-orang dalam Gereja yang menghayati suatu cara hidup yang nenekankan primat Allah secara mutlak. Hal ini secara istimewa tampak jelas dalam bentuk hidup kontemplatif, di mana Allah menajdi satu-satunya alasan hidup mereka. Juga, dalam tarekat rellgiius lainnya primat Allah ini harus tampak jelas pula, biarpun tidak secara mutlak seperti dalam tarekat kontemplatif.

Dalam segala karyanya, janganlah sampai para religious lupa, bahwa karya itu tidak pernah dapat menjadi tujuan. Allahlah yang harus menjadi alasan hidupNya, sedangkan segala karyanya harus merupakan manifestasi kepercayaan dan keterpautannya kepada Allah. Di dalam Gereja, para religious menjadi tanda akan hakekat panggilan Gereja yang terdalam. Mereka bertugas mengingatkan saudara-saudarinya, - bukannya dengan kata-kata yang hampa, melainkan dengan hidupnya, akan tujuan hidup mereka, akan tujuan hidup manusia.

Itulah sebabnya, mengapa konsili dalam dekritnya tentang karya missioner menandaskan betapa perlunya sejak permulaan memasukkan bentuk-bentuk hidup religious dalam Gereja yang baru lahir, bukan hanya karena penting untuk karya kerasulan missioner, melainkan demi suatu alasan yang lebih dalam lagi:  Karena penyerahan diri yang lebih mesra kepada Allah di dalam Gereja, hidup religious menyatakan dan mengungkapkan dengan jelas sekali kodrat terdalam panggilan Kristiani kita (AG 1).

Agar supaya orang-orang Kritiani dan orang-orang  lainnya tidak memperoleh gambaran yang pincang tentang Gereja dan supaya Gereja tidak hanya dikenal sebagai suatu organisasi yang rapi, kekuasaan yang menakutkan dan mengancam agama-agama lain, badan social yang teratur rapi, pirmat Allah ini harus tampak jelas dalam hidup para religious.

  1. TERPESONA OLEH ALLAH
Bila para religious hidup bersama dalam suatu komunitas, sebabnya yang bertama dan terutama bukanlah pekerjaan yang mereka lakukan, karena biasanya bermacam-macam pekerjaannya. Juga bukan karena gagasan atau ide-ide yang sama, karena inipun kerapkali berbeda pula. Tetapi yang mengumpulkan mereka ialah pengalamannya akan Allah yang mereka jumpai dalam hidupnya. Karena pengalaman ini timbullah di antara mereka suatu hubungan baru yang berdasarkan pada Tuhan. Terpikat dan tertarik oleh Allah, mereka mencari suatu cara hidup baru di mana pengalaman Allah tadi dapat berkembang dan akhirnya menjadi jiwa seluruh hidupnya.

  1. INTI PENGALAMAN ALLAH
Apakah yang sebenarnya dialami? Atau apakah yang menjadi inti pengalaman Allah ini? Kiranya boleh dikatakan, bahwa intinya terdapat dalam kenyataan, bahwa orang MENGALAMI HUBUNGANNYA DENGAN ALLAH SECARA SADAR. Pengalaman ini bersifat integral, menyeluruh, meliputi seluruh hidupnya, artinya merupakan pengalaman  seluruh manusia sebagai pribadi. Biarpun demikian, pengalaman ini mencapai puncaknya secara berbeda-beda pula sesuai dengan keadaan pribadi masing-masing.  Bagi yang satu pengalaman ini berarti merasakan sesuatu yang luar biasa, “merasakan” kehadiran Allah, bagi yang lain seolah-olah menyentuhnya, bagi yang lain lagi pengalaman tadi berupa suatu ‘pengelihatan’, ada pula yang dengan suatu cara yang tidak dapat diungkapkan menyadari adanya suatu hubungan istimewa dengan Allah. Dan sebenarnya memang masih banyak cara dan kemungkinan lain serta bentu-bentuk yang berbeda untuk ‘mengalami’ Allah.

Jelaslah dari sini, bahwa pengalaman Allah ini bersifat pribadi. Pada hakekatnya bukan lain dari pada pengalaman akan hubungan kita dengan Allah. Ini merupakan sesuatu yang dialami sungguh-sungguh, yang dihayati. Oleh sebab itu pengalman tadi merupakan sesuatu yang tidak dapat diganti, tidak dapat diwakilkan, karena pengalaman orang lain tidak memiliki nilai yang sungguh-sungguh bagiku. Karenanya ada perbedaan yang amat besar, seperti bumi dan langit saja, antara suatu pengetahuan yang abstrak dan suatu pengenalan eksperimentil. Bagi seorang yang tidak pernah mengalami apa itu cinta, segala uraian tentang cintakasih kedengarnnya sebagai kata-kata kosong belaka. Demikian pula di sini.

Hendaknya diingat pula, bahwa untuk pengalaman semacam ini, Allah menuntut dari kita suatu sikap terbuka yang sempurna. Lagi pula kita hanya dapat ‘menangkap’ Dia, bila kita menerima terang dan rahmatNya. Dan lagi kita hanya dapat mengalami Allah secara nyata, bila kita mengamini dengan seluruh pribadi karunia yang diberikan kepada kita, serta membuka diri secara total terhadap pelaksanaannya. Oleh sebab itu pengalaman ini harus bersifat pasif dan aktif sekaligus, agar benar-benar menjadi kenyataan. Pasif karena hubungan itu merupakan suatu karunia yang diberikan begitu saja dan manusia tinggal menerimanya. Aktif, karena hubungan dengan Allah ini bersifat bebas dan karenanya manusia tidak terpaksa menerimanya, melainkan harus menjawabnya dengan kebebasan hati. Manusia harus menyongsong Allah yang mengambil inisiatif untuk mendekati Dia. Ini harus dikerjakannya dengan sautu penyerahan diri total.

Kalau demikian halnya, pengalaman Allah ini, mengandaikan suatu keterlibatan kita dalam iman, yang biarpun merupakan suatu kurnia, toh tetap merupakan perbuatan manusia yang bebas. Oleh sebab itu secara aktif kitapun dapat mencari pengalman Allah ini, tentu saja dengan mengikuti jalur-jalur iman kita, yakni untuk ‘mengalami’ apa yang kita imani. Pada permulaan hanya terdapat faal iman semata-mata, tanpa ‘pengenalan eksperimentil’. Semakin aku melibatkan diri dalam suatu hidup yang arah dan motivasinya ditentukan oleh iman, semakin dekat aku pada suatu pengalaman yang biarpun tetap termasuk bidang iman, namun merupakan suatu pengalaman Allah yang nyata.

Seorang yang melibatkan diri sungguh-sungguh dalam mengikuti jejak Kristus serta hidup dari Injil, sudah mempunyai suatu pengalaman kristiani ( sic. ini tahapan nilai inkarnatoris beriman). Sifatnya sebagai sesuatu yang “dialami” serta “dirasakan”  mungkin masih sedikit sekali, akan tetapi hidup semacam itu sudah merupakan suatu pengalaman religious. Semua perbuatan dan seluruh sikap batinnya menjadi tanda akan keterpautannya pada Krstus. Dalam penghayatan hidup sehari-hari, iman menghantarnya pada suatu pengenalan Krisuts yang baru, yang makin lama makin mendalam, sehingga hidup sehari-hari itu sendiri akhirnya menjadi suatu pengalaman Allah. Karena iman, ia dadpat menangkap kehadrian aktif Allah dalam hidupnya, biarpun masih agak samar-samar, tetapi sungguh-sungguh nyata. Bila ia tetap setia dan terbuka, pada suatu ketikapengalaman ini menjadi sesuatu yang hidup sekali. Yang samar-samar diganti, oleh sesuatu yang jelas sekali sehingga seolah-olah orang dapat melihat, merasa, meraba, menyentuhNya. (suc, masuk pengalaman nilai religious)

Sudah barang tentu bahwa pengalaman Allah semacam itu tidak bersifat tetap dan mengnal pasang surut. Bahkan kerapkali terjadi bahwa pengalaman akan kehadiranNya dengan segera disusul oleh pengalaman akan ketidak-hadiranNya. Ini memang dialektika hidup rohani, tetapi bukan di sini tempat untuk membahas persoalan ini. Biarpun demikian, pengalaman Allah yang semacam itu besar sekali  pengaruhnya atas hidup orang yang mengalaminya, lagi pula menimbulkan getaran yang mendalam sampai ke lubuk hatinya. Dalam pengalaman Allah inilah ia menemukan perkembangan pribadinya secara maksimal. Di situ pulalah ia mengalami sukacita yang mendalam, suatu kegembiraan besar, yang menggema dalam seluruh adanya.

Tak mungkin orang dapat bertemu dengan Allah, tanpa dipenuhi sukacita yang besar, tanpa hidupnya dipengaruhi secara mendalam. Allah menyatakan diri kepadanya pada suatu kedalaman yang tak mungkin didapat olehnya. Kehadiran Allah itu demikian membekasnya, sehingga hidupnya memperolah warna baru.

  1. BUAH-BUAH DAN KONSEKUENSI PENGALAMAN ALLAH
Bagi orang-orang tertentu, setelah mengalami Allah secarademikian itu, segala nilai yang lain menjadi pudar. Terpesona oleh Allah, nilai-nilai yang hingga saat itu tampakmenarik hatinya, kehilangan daya tariknya. Bukan karena nilai-nilai yang lain itu dipandagnya negative, melainkan karena ia menemukan nilai-nilai yang lebih tinggi bagi dirinya. Allah telah memikat hatinya, sehingga tidak dapat memberikan hatinya kepada sesuatu lain kecuali Dia sendiri, biarpun kemudian hari, bila hatinya sudah diserahkan sama sekali kepada Allah, ia akan menemukan segala-galanya kembali secara berlimpah-limpah.  Apa yang ditinggalkannya dalam bidang duniawi, akan diperolehnya kembali dalam bidang rohani seratus kali lipat.

Tersentuh oleh Allah secara demikian itu, ia ingin mengikuti Anak Domba kemana saja perginya. Untuk ini ia bersedia meningglkan segala-galanya, karena baginya hidup ialah Kristus dan hatinya seluruhnya menjadi milik kristus. Agar semua itu menjadi sautu kenyataan yang konkrit, ia memilih suatu cara hidup di mana primat Allah diberi tampat utama, di mana cinta kepada Allah menjiwai seluruh hidupnya. Kecuali pada beberapa orng, pada permulaan biasanya pengalaman Allah ini masih kurang sadar. Juga bagi tiap religious tidak sama jelasnya. Itulah sebabnya mengapa sedikit demi sedikit pengalman ini harus lebih jelas, bahwa dalam hal ini iman memainkan peranan yang hakiki, sbab hanya dalam iman saja panangannya akan menjadi makin dalam. Pandangan baru ini ia akan mempu menyingkapkan arti yang lebih dalam yang tersembunyi dalam segala perkara, sehingga tidak berhenti pada apa yang tampak saja.

Sebaliknya pandangan yang menembus inti segala perkara ini yang biasanya disebut pandangan kontemplatif, akan memperdalam iman pula. Dengan pandangan kontemplatif ini, setiap religious harus mengarah kepada persatuan yang lebih mesra dengan Allah (sic. nilai mistik), serta membuka diri semakin besar untuk pernyataan DiriNya. Kalau ia menjadi religious, sebabnya bukan karena suatu pekerjaan atau karya, melainkan karena pribadi Kristus. Oleh sebab itu bukan pekerjaan atau karyalah yang primer, melainkan persatuan dengan Kristus dan dengan Bapa dalam Roh Kudus.

Pandangan kontemplatif ini senantiasa harus diperdalam, karena dengan demikian halnya akan makin tebuka bagi Allah, sehingga pengalamannya akan Allah juga akan menjadi makin dalam. Sebaliknya bila pandangan kontemplatif ini memudar, juga nilai-nilai religious  yang hakiki makin sukar dimengerti, sampai akhirnya tampak tak berarti sama sekali. Maka tanpa pendalaman pandangan kontemplatif ini, dan bersamaan dengan itu kurang keterbukaan bagi Allah, panggilan hidup religious tidak berakar kuat. Dengan cepat kehidupan dalam komunitas religious menjadi formalitas belaka. Latihan-latihan rohani bersama, seperti doa, perayaan Ekaristi serta ibadat lainnya, dengan mudah berubah menjadi kebiasaan, menjadi rutin belaka. Dinamisme yang hidup, yang berasal dari suatu cita-cita yang hidup, tidak kelihatan lagi. Hidup sedikit demi sedikit menjadi kosong, menjadi hambar tidak mempunyai makna lagi sehingga dengan mudah orang mencari kompensasi dalam segala macam kesibukan atau hal lain, sekedar untuk melarikan diri dari kekosongan yang menekan itu. Maka tidak mengherankan, bila hidup religious tidak lagi memberikan kebahagiaan dan kegembiraan, tetapi sebaliknya malahan terasa sebagai suatu beban.

Tanpa pengalaman Allah yang senantiasa diperdalam, karya-karya menjadi kurang berarti sekurang-kurangnya tidak mampu memberikan kesaksian yang seharusnya dapat diberikan. Sebabnya ialah karena dinamisme rohani yang timbul dari pengalaman Allah itu tidak ada lagi. Karya-karya sudah tidak memancarkan cintakasih, apalagi pengabdian tanpa pamrih yang timbul dari hubungan pribadi yang mesra dengan Kristus.  Karya-karya seperti sekolah-sekolah, rumah sakit serta badan-badan social lainnya yang semula dimaksudkan sebagai pengabdian bagi kaum miskin seturut teladan Kristus, lama kelamaan sudah berubah menjadi tempat penampungan orang-orang kaya. Dan kejanggalan ini sudah tidak dirasakan lagi. Maka tidak mengherankan bahwa sering terdengar kecaman, bahwa karya-karya Gereja, walaupun dilakukan dengan baik tetapi toh penuh pamrih.

Dari semuanya ini jelaslah sudah, bahwa hanya para religious yang benar-benar terpesona oleh Allah, makin hari makin bersungguh-sungguh dapat memberikan kesaksian dalam seluruh hidupnya, bahwa Kristus itu benar-benar merupakan segala-galanya bagi dia.

CATATAN PENYALIN:  Karya kerasulan kelembagaan memang di zaman ini perlu profesionalitas, kalau ada religious yang mampu mengaplikasikan pembaktian hidupnya kepada Allah dalam karya kelembagaan professional, itu adalah baik dengan pemahaman, bahwa ia mengabdi Allah dengan profesionalitasnya yang juga diabdikan bagi Kristus dalam diri kaum miskin, menderita. Yang masalah, kalau lembaga sudah ada lama dan berlangsung terus, tetapi tidak ada religious yang sudah mencapai tahapan hidup rohani yang semakin kuat dalam pengalaman Allah, maka akan terjadi formalitas religious dan  tak beda dengan tenaga professional secular. Di sinilah kemungkinan terjadinya permasalahan karya lembaga kerasulan Gereja.

  1. MENUJU KE PENGALAMAN ALLAH
Pertama-tama harus disadari bahwa pengalaman Allah ini merupakan suatu anugerah semata-mata. Dengan karunia semacam itu Allah hendak memberi pra-rasa sedikit kepadanya, bahwa hidup dalam kemesraan Allah itu melampaui segala bayangan, pikiran dan pengertian. Tuhan ingin menyatakan kepadanya betapa bahagia manusia itu bila hatinya diarahkan seluruhnya kepada Allah. Dan juga dengan memberikan pra-rasa yang sedikit itu, Tuhan ingin pula menyatakan bahwa itu semua belum apa-apa, dan bahwa “tidak ada mata yang melihat, tidak ada telinga yang mendengar dan tidak pernah timbul dalam hati manusia, apa yang disediakan Allah bagi mereka yang mengasihiNya” (I Kor 2:9). Biarpun tetap benar bahwa semuanya itu merupakan anugerah semata-mata, namun dalam kenyataannya pengalaman Allah semacam itu dikaruniakan kepada setiap orang yang benar-benar memiliki panggilan hidup relgiius. Oleh sebab itu pengalaman Allah yang masih berupa benih ini perlu diperdalam dan dikembangkan dengan jalan menyediakan hati yang rela dan bebas dari segala ikatan, sehingga karena tiada terhalang oleh sesuatupun juga, Tuhan dapat menyatakan diri secara lebih leluasa. Dengan demikian hidupnya akan merupakan suatu pertemuan yang mesra dengan Tuhan. Oleh sebab itu sudah sepatutnyalah, bila segala sesuatu dalam hidup religious diarahkan pada perkembangan perjumpaan dengan Allah ini. Berhubung dengan ini kiranya perlu meninjau kembali beberapa hal.

a)      PENGALAMAN ALLAH DAN CARA SERTA BENTUK HIDUP KITA

Tersentuh hatinya oleh Allah dan terpikat olehNya, orang itu mencari suatu cara hidup, dimana ia dapat memberikan diri dengan segenap hati kepada Tuhan. Iapun lalu menggabungkan diri pada orang-orang lain, yang juga tersentuh hatinya. Bersama-sama mereka membentuk sebuah persekutuan hidup, suatu komunitas, yang terarah kepada Tuhan, dimana mereka mengharapkan dapat memperkembangkan diri dalam hubungannya dengan Tuhan serta memperdalam pengalaman Allahnya. Bersama-sama mereka menciptakan suatu suasana hidup yang optimal untuk perkembangan hubungan pribadi dengan Tuhan. Mereka saling bahu-membahu, saling medoronguntuk bersama-sama mencapai tujuan hidup mereka. Dengan demikian mereka bersamapsama tumbuh kearah Tuhan dan pada waktu yang bersamaan pula, cinta persaudaraanpun berkembang demikianlah mereka membentuk suatu komunita yang dipersatukan oleh iman kepercayaan mereka kepada Kristus dan dijiwai kasih persaudaraan, yang merupakan buah dan pernyataan iman tersebut. Didukung oleh semangat komunaitas yang demikian itu, panggilan yang ditaburkan Tuhan dalam hati mereka masing-masing, akan tumbuh dengan suburnya. Hati masing-masing terbuka bagi karya Roh Kudus dalam dirinya. Jadi, inilah arti komunitas itu: merupakan suatu tanah yang subur, dimana benih-benih panggilan Tuhan dapat tumbuh dengan baik. Oleh sebab itu dari dirinya sendiri sebuah komunitas tidak mempunyai arti apa-apa.Ia hanya berarti sejauh mampu menghasilkan buah-buah yang nyata. Maka nilai sebuah komunitas diukur menurut kwalitas buah-buah yang dihasilkannya. Jika sebuah komunitas mampu menghasilkan religious-religious yang sungguh-sungguh “insan Allah”, “man of God”, artinya yang sungguh-sungguh bersemangat Injili, maka benar-benar komunitas semacam itu merupakan tempat persemaian yang tidada taranya, dan sudah selayaknyalah ia berkembang dengan subur. Sebaliknya bila religious yang dihasilkan sebuah komunitas atau tarekat, itu orang-orang yang bersemangat duniawi, yang penuh dengan macam-macam keinginan yang mudah iri hati, mudah marah, berhati keras, pendek kata yang serba tidak sempurna, maka komunitas yang demikian itu sebenarnya tidak mempunyai hak hidup. Jadi tiap-tiap komunitas  harus dinilai sebanding dengan buah-buah yang dihasilkannya.

Sebagai jawaban atas panggilan Tuhan yang menyentuh hatinya, para religious menyerahkan diri kepadaNya dalam suatu ikatan kaul kebiaraan. Karena Tuhan telah menyentuh hatinya sedemikian rupa, segala nilai yang lain menjadi pudar, sehingga ia terdorong untuk menyerahkan diri secara total kepadaNYa. Dengan kaul kemurnian / selibat, ia menyerahkan hati dan di atas segala sesuatu, lagi pula dengan perhatian yang utuh, tidak terpecah-pecah.Ia sudah tidak dapat hidup lagi kecuali dalam cinta ini. Agar supaya cinta tersebut berkembang dengan sempurna dalam dirinya, karena tiada terhalang oleh sesuatu apapun juga dengan senang hati ia melepaskan segala hak miliknya dalam kaul kemiskinan supaya hatinya bebas bagi pertumbuhan cinta. Demikianlah karena bebas dari segala ikatan dan belenggu, ia dapat maju dengan pesat dalam lorong-lorong cintakasih. Akan tetapi karena sadar, bahwa kalangan terbesar datang dari dirinya sendiri, dari egoismenya, yang selalu memusatkan sgala sesuatu pada diri sendiri, maka sesuai dengan teladan dan anjuran Kristus sendiri, ia mau mengadakan penyangkalan diri secara radikal.Secara istimewa, dalam kaul ketaatan, ia mewajibkan diri untuk mencari dan melaksankan kehendak Tuhan yang meyatakan diri dalam citacitatarekatnya, segala peaturan dan disiplin yang diarahkan ketujuan hidup panggilannya. Supaya sempurna penyangkalan dirinya, yang melakukan kehendak orang lain lebih dahulu, khususnya yang ditempatkan oleh Tuhan sebagai pembesarnya, daripada kehendaknya sendiri. Dengan demikian perhatiannya akan terarah kepada Tuhan dan bukan kepada diri sendiri.]

Agar supaya benih yang sudah ditaburkan itu dapat berkembang dengan baik, perlulah menyesuaikan pendidikan dengan tujuan pokok tersebut. Pendidik harus bersifat integral, dan bukan hanya intelektual belaka. Para relgius muda yang barumasuk tidak hanya harus belajar dari teori-teori saja, melainkan seluruh cara hidup komunitas dan para religious masing-masing harus merupakan tempat belajar bagi relgius muda itu. Oleh sebab itu pendidikan para religious muda tidak berhenti sesudah keluar dari novisiat, melainkan harus dilanjutkan sesudahnya. Di sinilah tugas indah bagi para pembesar, para formator, tetapi juga penuh tanggung jawab. Mereka harus memperhatikan hidup rohani anggotanya, dan buakn hanya pekerjaan mereka saja. Akan tetapi itu berarti, bahw mereka sendiri harus lebih dulu mendalami hidup tersebut, supaya nasehat-nasehatnya bukan hanya kata-kata kosong belaka, melainkan sungguh-sungguh dapat mengena hati. Pendek kata, para pemimpin harus membimbing orang yang dipercayakan kepadanya pertama-tama dengan teladan hidupnya dan baru kemudian dengan kata-katanya, sesuai dengan teldan Kristus sendiri.

Karena pengalaman Allah ini merupakan dasar hidup religious, merupakan jiwanya, maka seluruh bentuk hidup religious harus dapat membantu pengalaman Allah ini, harus terarah kepadanya. Akan tetapi bagaimanakah dalam kenyataannya? Apakah cara hidup kita yang sekarang ini de facto “memungkinkan, mempermudah” dan “memperkembangkan” pengalman Allah ini, ataukah malahan menghambat? Apakah acara harian dan cara hidup sehari-hari memberikan kemungkinan riil kepada pengalaman Allah? Apakah cara hidup kita hanya berdasarkan suatu tradisi yang beku, atau sebaliknya hanya mengikuti mode terbaru saja, asal ikut tanpa pengertian yang mendalam ataukah sungguh-sungguh dihayati penuh kesadaran dan diarahkan kepada pertemuan dengan Allah, yang pada hakekatnya merupakan inti hidup Kristiani kita? Mungkin perlu sekali diadakan perubahan yang cukup radikal,, tetapi selalu sadar akan tujuan yang ingin dicapai. Mungkin di sini kita dapat belajar banyakd ari biara-biara budhis, khususnya dalam penghayatan kemiskinan dan kelepasan, maupun dalam mengarahkan cara hidup pada tujuan yang ingin dicapai.

b)      PENGALAMAN ALLAH DALAM DOA

Kalau inti tiap hidup kristiani, dan lebih-lebih hidup religious, ialah perjumpaan personal dengan Allah, doa justru merupakan tempat dan saat istimewa pertemuan ini dan seharunya merupakan realisasi dan aktualisasi pengalaman Allah ini, biarpun bukan satu-satunya. Pertemuan dengan Allah ini harus meliputi seluruh hidup, tetapi secara istimewa diaktualisir dalam doa. Oleh karena itu perlulah kita meninjau kembali apakah doa kita sungguh-sungguh dapat membawa kepada pengalaman Allah yang mendalam? Ataukah hanya sekedar memenuhi acara belaka? Apakah kita dapat berdoa dengan hati yang gembira, ataukah doa kita justru diraksakn sebagai suatu “kewajiban” yang menekan, bahkan suatu beban?

Agar supaya doa para religious sungguh-sungguh merupakan suatu pertemuan dengan Allah, perlu diadakan pembinaan yang tepat, bukan hanya secara teoritis, tetapi lebih-lebih bimbingan praktis. Karenanya kaita membutuhkan orang-orang yang sungguh-sungguh berpengalaman dalam bidang formation, bukan hanya orang yang tahu secara teoritis apakah doa itu yang seharusnya, tetapi karena pengalman formator itu sendiri dalam iman yang konkrit dapat menghantar orang lain ke jalan tersebut karena sudah menjalaninya sendiri. Apakah diantara para formator / pembimbing dapat mengatakan dengan jujur “apa yang telah kami dengar dan lihat dengan mata sendiri yang telah kami pandang dan raba dengan tangan sendiri, yang sudah kami alami sendiri, itulah yang kami wartakan” (bdk. I Yoh 1: 1 – 3)? Rupanya salah satu sebab kemerosotan dalam hidup religious yang seang kita alami ini, ialah tidak adanya pembimbing yang sungguh-sungguh berpengalaman dalam hal doa, karena pembimbing-pembimbing kita kebanyakan hanya mengulangi apa yang dikatakan orang lain tentang doa tanpa pengalaman sendiri, karena mereka, belum menjadi “insan Allah”, belum nejadi “man of God”. Oleh karena nya para pembimbing sendiri perlu mengadakan pendalaman lebih dulu.
Supaya tujuan yang dikemukakan di atas dapat dicapai, mungkin harus diadakan revisi yang mendalam mengenai cara-cara kita berdoa, praktek-praktek yang kita jalankan hinggakini. Masing-masing harus belajar dan dibimbing untuk menemukan penghayatan doanya yang senantiasa berkembang, baik doa-doa liturgis (Misa, ibadat harian dsb)  maupun doa-doa lainnya, baik yang bersifat komuniter ataupun doa pribadi. Apakah doa-doa kita seperti Ekaristi dan Ofisi terasa kering? Mungkin perlu pendalaman lebih lagi.

Akhir-akhir ini banyak diperkembangkan doa non liturgis yang bersifat komuniter, seperti umpamanya berdoa dengan Kitab Suci, membaca dan mendengarkan Kitab Suci bersama, sharing hari-hari doa. Semuanya ini akhirnya harus bermuara pada doa yang pribadi, harus membantu perkembangan hubungan pribadi dengan Allah.

Sedangkan untuk metode-metode doa yang pribadi harus digali kembali kekayaan-kekayaan yang ada dalam Gereja sambil membuka diri terhadap metode yang dipergunakan ditempat lain. Perlu diadakan perubahan yang mendalam tentang cara bermeditasi yang dipraktekkan hingga kini. Meditasi atau renungan itu biasanya terlalu bersifat diskursif inteletual, dan diarahkan pada pelaksanaan niat-niat yang praktis, harus efisien, padahal hakekat doa ialah pertemuan dengan Allah dalam iman, pengharapan, dan cintakasih. Maka cara meditasi kita perlu direvisi bila demikian. Kecuali meditasi ini dapat pula dipakai dan diperkembangkan doa Yesus yang dapat memperkaya. Doa Yesus ini banyak dikembangkan di GEreja Timur dan kini juga sudah mulai banyak dikenal orang dalam Gereja Barat, dalam Gereja kita sebab biarpun kita tinggal di Asia, namun kita masih termasuk Gereja Barat, Untuk banyak orang Indonesia, doa Yesus ini kiranya lebih mengena dan lebih cocok. Doa kita juga harus disesuaikan dengan mentalitas setempat. Untuk penghayatan doa yang lebih serasi dengan kepribadian Asia dan Indonesia khususnya, kita harus mempelajari secara lebih mendadlam kekayaan-kekayaan yang sudah terdapat di Asia dan Indonesia. Kita harus berani mendidik  orang-orang yang berbakat untuk memperdalam kehidupan doa ini. Semuanya ini memang amat sesuai dengan alam Indonesia.

Akhirnya semua doa kita harus menuju kontemplasi, kepada doa hening yang merupakan aktualisasi tertinggi pertemuan kita dengan Allah. Kita juga harus mengarah kepada doa terus-menerus yang tiada batasnya pada saat-saat doa saja, melainkan meliputi seluruh hidup. Dengan demikian akan terbentuklah suatu sikap doa dan bukan hanya praktek-praktek doa pada waktu-waktu tertentusaja. Sikap doa inilah yang pokok, karena merupakan keb\terbukaan terhadap Allah dalam iman, pengharapn dan cintakasih, dan di dalam Allah keterbukaan terhadap semua orang. Dengan sikap doa yang demikian itu, kita akan dapat menemukan Alalah dalam hidup sehari-hari, dalam kerjadian dan peristiwa-peristiwa yang kita hadapi. Dengan sikap doa ini kita akan lebih mudah mengenali kehendak Allah yang menyatakan diri dalam seribu satu macam bentuk. Juga salib yang harus kita tanggung dan kita jumpai tiap hari akan memiliki arti yang berlainan, karena di dalamnya kita akan mampu mengenali kehendak Allah.

c)      SYARAT-SYARAT PENGHAYATAN DOA
Kiranya sudah jelas bahwa untuk dapat sampai pada sikap doa yang demikian itu ada syarat-syaratnya. Seperti dalam semua bidang lainnya, juga di sini kita tidak akan dapat mencapai suatu kemajuanpun tanpa usaha. Yang diminta dari pihak kita ialah usaha untuk menyingkirkan aneka macam halangan yang ada dalam diri kita, yang kita jumpai dalam segala lapisan ada kita, mulai dari bagian terluar sampai yang terdalam, mulai dari pancaindera sampai lubuk hati yang terdalam.

Pertama-tama kita harus mengadakan pertobatan yang mendalam, artinya meluruskan arah dasar hidup kita. Dari suatu sikap yang berpusat pada nilai ego (atau malah masih juga nilai kenikmatan dan kesenangan), kepada sikap terbuka yang terarah kepada Tuhan dan dalam Tuhan kepada sesame. Jadi yang pertam harus diluruskan ialah sikap dan arah dasar hati kita, karena hati inilah merupakan kemampuan terdalam manusia. Inilah yang sebenarnya dimaksud dengan pembalikan hati, pertobatan yang sejati. Untuk memperkuat pembalikan hati ini serta sebagai tanda kesungguhannya, kita juga harus berusaha menguasai badan, perasaan dan pikiran. Karena adanya perpecahan dalam diri manusia, bagian-bagian yang seharusnya bekerja sama secara harmonis demi kesejahteraan seluruh manusia, yang lebih rendah taat kepada yang lebih tinggi, akhirnya masing-masing hanya mengikuti kecenderungannya sendiri-sendiri, yang kerapkali justeru bertentangan dengan kepentingan lebih luhur manusia dengan tujuan hidupnya.

Dari sini nyatalah pentingnya menguasai badan dengan segala dorongan nafsunya. Badan harus benar-benar dikuasai dengan askese, supaya dapat mengabdi kepentingan lebih luhur dari manusia, dan bukannya menruut kecenderungannya sendiri. Alan tetapi tanpa latihan-latihan kita tidak dapat menguasainya. Di sini tampak jelas betapa pentingnya matiraga / askese itu dalam hidup rohani. Kita harus belajar sedikit demi sedikit mengatasi nafsu-nafsu kita, supaya tidak diperbudak olehnya. Dengan berusaha mengendalikan diri dalma hal makan dan minum dan lain sebagainya, kita juga akan mampu menguasai dorogan nafsu-nafsu lain. Oleh sebab itu penting sekali menemukan kembali arti puasa, pantang, pengendalian diri, pengendalian lidah, berjaga dalam doa. Kita juga harus belajar menguasai perasaan, supaya jangan sampai diombang-ambingkan olehnya. Dan akhirnya juga sangat penting menguasai dan mengatur gerak pikiran kita. Kerapkali bidang ini sangat dilalaikan. Lebih-lebih dewasa ini dengan adanya media komunikasi yang luar biasa kemungkinannya, disiplin diri dalam hal ini sangat perlu. Betapa kerapnya manusia diombang-ambingkan oleh seribu satu macam kesan yang diterimanya melalui berita Koran, radio, televise, film / video, sinetron, internet, bahkan bahan-bahan studi ilmu pengetahuan dan profesionalitas, masalah-masalah dalam lembaga karya dll.

Tidaklah mengherankan, bila banyak orang mengeluh tidak dapat berdoa, karena pikirannya senantiasa dilanda segala macam kesan, yang tiada henti-henti melandanya seperti ombak yang saling susul memecah pantai. Baru saja benih ditaburkan, sudah dihanyutkan ombak-ombak kerisauan, keinginan, keributan, sehingga tidak pernah tumbuh. Maka justru sekrang ini, lebih daripada masa-masa lampau, kita harus belajar menguasai pikiran kita. Bagaimana? Kerapkali dirasakan perlu, tetapi sekaligus suatu perasaan tidak mampu menguasai pikiran kita. Mungkin dalam hal ini kita dapat belajar dari metode-metode yang sesuai untuk bias focus pikiran. YANG PASTI IALAH, BAHWA TAK MUNGKIN HIDUP ROHANI KITA DAPAT BERKEMBANG TANPA USAHA YANG SERIUS UNTUK MENGENDALIKAN PIKIRAN KITA.

Baik dalam tradisi Asia maupun dalam tradisi Gereja kita sendiri, didapati banyak contoh tentang upaya-upaya untuk mencapai tujuan tsb. Keheningan dan kesunyian merupakan upay-upaya klasik yang justru sangat dibutuhkan dewasa ini. Kiranya kebiasaan-kebiasaan untuk menyepi, pergi dan tiggal di tempat yang sunyi untuk waktuwaktu tertertentu, tinggal dalam kamar seorang diri selama beberapa hari tanpa keluar, tanpa bicara, tetapi dengan puasa, demikian pula kebiasaan mutih-hanya makan nasi saja, dengan air putih dan garam, mungkin dapat dihidupkan kembali. Kebiasaan-kebiasaan tersebut dewasa inipun masih hidup dalam kalangan rakyat, biarpun sudah semakin jarang. Kristus sendiri dalam kenyataannya pergi ketempat sunyi untuk berdoa seorang diri dan Ia juga berpuasa, padahal Ia sudah senantiasa bersatu dengan Bapa. Tetapi kita ini malahan mengira tidak membutuhkan hal tsb.

  1. HIDUP KONTEMPLATIF MENGEMBANGKAN PENGALAMAN ALLAH
Sic. Biara-biara kontemplatif kiranya menjadi ikon tentang pentingnya sikap hidup kontemplatif. Para religious dibiara kontemplatif berdoa bagi seluruh Gereja dan keselamatan dunia. Mereka mempunyai peran penting dalam kehidupan Gereja dan dunia.  Biara kontemplatif adalah bagian tak terpisahkan dari keseluruhan Gereja yang utuh. 

Hidup kontemplatif merupakan bagian integral kehidupan gerewi, ya bahkan tanpa bentuk hidup ini Gereja masih kekurangan suatu unsur yang hakiki. Menyadari hal ini Konsili vatikan II menandaskan perlunya hidup kontemplatif bagi Gereja, betapapun besarnya kebutuhan kerasulan aktif. Jadi kekurangan tenaga kerasulan aktif sama sekali bukan alasan untuk tidak memberikan tempat kepada hidup kontemplatif. Bahkan konsili dengan tegas menyatakan, bahwa dalam keadaan ini hidup kontemplatif tetap memiliki tempat istimwa dalam Gereja (bdk PC 7). Bentuk hidup ini tidak hanya penting untuk Gereja yang sudah berakar, tetapi juga snagat perlu untuk Gereja yang masih muda. Gereja-gerja di tanah misi. Bahkan dalam dekritna tentang karya missioner, Konsili menandaskan perlunya sejak permulaan memasukkan bentuk-bentuk hidup religious, termasuk bentuk hidup kontemplatif, bukan hanya karena penting untuk karya missioner itu sendiri, melainkan demi suatu alasan yang lebih mendalam lagi.

KESIMPULAN: GAMBARAN SEORANG RELIGIUS YANG IDEAL

Kesimpulan akan kami berikan dalam bentuk sebuah gambaran tentang religious yang ideal, artinya yang dapat dijadikan idam-idaman. Dari tingkah lakunya, tutur kata, sikapnya, pendekkata dari seluruh pribadinya, tampaklah bahwa ia seorang insan allah, a man of God. Hatinya terpaut sepenuhnya kepada Allah, sehingga Allah menjadi hidupnya. Ia senantiasa hidup dalam kesadaran akan hadirat Allah, yang mengasihinya, yang senantiasa hadir padanya. Di mana-mana ia dapat menemukan Allah, pertama-tama dalam lubuk jiwanya, dalam keheningan doa, demikian pula dalam alam semesta, dalam mahluk hidup, dalam kejadian-kejadian sehari-hari, dalam sesama saudara/inya. Hidupnya sungguh-sungguh bernafaskan Kristus, selalu digerakkan Roh kudus, dalam segala hal mencari kehendak Bapa. Biarpun ditengah segala kesibukannya, ia menemukan Allah, namun masih sempat mencari dan menemukan waktu khusus untuk tinggal seorang diri dalam kemesraan Allah.

Karena persatuannya yang erat mesra dengan Allah, seluruh hidupnya memancarkan kebangkitan Kristus. Ia sungguh-sungguh seorang yang bebas, bebas dalam cintakasih. Hatinya tidak terikat lagi oleh macam-macam belenggu kekayaan, kenikmatan, kesnangan, relasi, kedudukan-jabatan karya, gengsi, nama bahkan hidupnya sendiri. Harmoni yang indah memancar dari seluruh kepribadiannya. Ia seorang yang penuh cintakasih, wajahnya memancarkan damai dan kegembiraan batin, seorang yang sabar, ramah tamah, baik hati, lembut hati, sertia, dapat dipercaya, sopan. Ia seorang yang terbuka, tidak meandang bulu, selalu penuh perhatian terhadap setiap orang, khususnya yang miskin, yang ditimpa kemalangan, yang menderita, yang tertindas. Biarpun bagi diri sendiri ia lebih suka menaggung segala ketidakadilan dengan sabar,untuk mengisi dalam dirinya apa yang masih kurang dalam penderitaan Kristus, namun bila perlu ia tidak sedan-segan membela keadilan untuk orang lain.Semuanya itu dilakukannya tanpa pamrih, dalam semangat iman yang besar dan demi keadilan itu ia bersedia menanggung penganiayaan, bersedia kehilangan karya / jabatan, kedudukan, nama, bahkan hidupnya sendiri. Akan tetapi semuanya itu dikerjakan tanpa kekerasan, tanpa kepahitan hati, kebencian atau dendam, bahkan sebaliknya harinya senantiasa ada dalam keadaan damai dan penuh kepercayaan dan penyerahan diri pada penyelenggaraan Allah.

Batu, 27 Maret 1975
Yohanes Indrakusuma O.Carm