Tinjauan Pastoral: Liturgi vs Non-Liturgi dalam Perayaan Ekaristi
Emanuel Martasudjita Pr
Disampaikan dalam
Rapat Kerja
Komisi Liturgi Keuskupan Regio Jawa – Plus
Jakarta, 26 – 28 November 2010
1. Santo Efrem (th 306 – 373), orang Siria adalah seorang diakon dan teolog. Teologinya menyatu dengan puisi, nyanyian, dan pujian kepada Allah sebagai sebuah liturgi yang hidup. Ia suka menulis teologinya dalam bentuk puisi yang indah. Tentang Ekaristi, ia menulis puisi yang indah sbb:[1]
Dalam roti-Mu tersembunyilah Roh yang tak dapat dimakan;
Dalam anggur-Mu terdapat api yang tak dapat diminum.
Roh dalam roti-Mu dan api dalam anggur-Mu:
lihatlah keajaiban yang disambut bibir kami.
Serafim (malaikat) tak dapat menyentuh bara api itu dengan jari,
Hanya mulut Yesayalah yang menyentuhnya (Yes 6:6);
jari-jari tidak memegangnya, mulut tidak menelannya;
tetapi kita diperkenankan Tuhan melakukan kedua-duanya.
Api turun dengan murka untuk memusnahkan pendosa,
tetapi api kasih karunia turun atas roti dan tinggal padanya.
Sebagai ganti api yang memusnahkan manusia,
kita telah diberi makan api dalam roti dan telah dihidupkan.
Santo Efrem mengungkapkan keagungan misteri Ekaristi. Betapa melalui roti dan anggur kudus, yaitu Ekaristi, yang kita terima, kita menyambut dan menerima Tuhan Yesus Kristus dan Roh Kudus-Nya yang tentu saja sesungguhnya melampaui diri kita dan kemampuan kita untuk menerima-Nya. Dia yang agung dan ilahi, yang mengatasi segala ciptaan, mau dan rela hadir dalam rupa roti dan anggur yang sangat terbatas dan rapuh, agar kita yang terbatas dan rapuh ini dapat ambil bagian dalam hidup-Nya! Santo Sirilus dari Yerusalem mengatakan: “Dalam roti dan anggur, janganlah hanya melihat unsur alamiah, sebabTuhan telah tegas mengatakan bahwa itu adalah tubuh dan darah-Nya: iman memastikan bagimu, kendati indera menunjuk kepada yang lain”[2]. Itulah sebabnya pada aklamasi anamnese, imam berseru: Agunglah misteri iman kita!
Kesulitan orang zaman ini
2. Keagungan misteri Ekaristi ini ternyata tidak mudah dipahami dan dihayati oleh umat beriman pada hari ini. Ada banyak faktor yang tampaknya saling terkait satu sama lain, dan tidak mudah untuk diuraikan secara rinci dan pasti. Semua faktor tersebut mempengaruhi kesulitan orang zaman ini untuk memahami dan menghayati misteri Ekaristi dengan penuh syukur. Beberapa hal saja dapat disebut di sini:
a. Sekularisasi sebagai arus besar zaman ini telah mengubah secara mendasar pola berpikir dan pola hidup manusia pada zaman ini. Sekularisasi menjadi suatu proses penemuan jati diri dunia, bahwa dunia ini otonom, akan tetapi tetap berkorelasi dengan Sang Pencipta (Latin: saeculum = dunia)[3]. Akan tetapi ketika otonomi dunia itu dimutlakkan dan dipisahkan dari hubungannya dengan Sang Pencipta, terjadilah sekularisme, yang merupakan ideologi tertutup. Demikianlah dalam masyarakat yang menganut sekularisme, peran Allah dan misteri kasih penyelamatan-Nya tidak mempunyai tempat. Kemudian perayaan iman seperti liturgi tidak bermakna sama sekali.
b. Sekularisasi telah menjadi arus zaman yang meluas ke segala segi dan ruang hidup di seluruh dunia berkat globalisasi. Banyak hal positif yang bermanfaat bagi kehidupan manusia berkat globalisasi ini, apalagi kemajuan iptek semakin memungkinkan hal ini. Akan tetapi ekses atau pengaruh negatif juga tidak dapat kita elakkan. Berkat media massa dan terutama kemajuan media komunikasi seperti internet, orang dapat memperoleh berita dan informasi tentang apa saja, kapan saja, dan dari mana saja. Akibatnya, sekarang ini orang kebanjiran informasi yang sering bahkan tanpa batas. Orang yang sangat menikmati browsing misalnya, akan sangat kuat duduk berjam-jam di depan komputer. Ia dapat membaca dan melahap berbagai berita, entah bagus atau tidak, menyimpannya, membagikannya ke orang lain. Apalagi dengan memiliki akun di FB atau twitter, orang dapat berkomunikasi secara asyik dengan banyak orang di seluruh jagad raya ini. Satu dampak yang sangat negatif dari ini semua, apabila orang tidak hati-hati dan tidak menyadarinya, ialah bahwa orang tidak pernah sempat memiliki waktu hening untuk diri sendiri dan bersama Tuhan, “waktu padang gurun”, waktu untuk “kesepian”, saat ia harus mengolahnya hanya bersama Tuhan. Padahal waktu seperti inilah yang sangat perlu untuk dapat melangkah kepada pengalaman akan keagungan misteri Ekaristi.
c. Sekularisasi juga dapat menimbulkan kecenderungan-kecenderungan yang negatif. Gerakan fundamentalisme dan fanatisme di bidang agama, ritualisme, hedonisme dan konsumerisme, dsb, merupakan contoh-contoh reaksi yang ekstrem, yang pada gilirannya tidak membangun kehidupan bersama yang utuh dan seimbang. Ritualisme misalnya jelas merupakan penghayatan iman yang tidak seimbang karena memisahkan antara upacara-upacara keagamaan dan perjuangan hidup sehari-hari. Perayaan liturgi tidak “nyambung” dengan perjuangan dan keprihatinan hidup umat sehari-hari. Atau orang yang berliturgi dengan baik dan benar serta khidmat tiba-tiba menjadi orang yang sama sekali aneh dan lain di dalam keluarga atau masyarakat, entah karena asosial atau karena perkataan-tingkah lakunya yang membuat perpecahan dan kebencian sesamanya. Begitu pula orang yang menganut semangat hedonisme dan konsumerisme tentu juga dapat menjadi orang yang sangat memuja diri sendiri dan dapat melupakan sesamanya, terutama yang lemah dan miskin. Jelaslah bahwa pola hidup yang ritualistik, hedonis dan konsumeris seperti itu sangat tidak membantu orang dalam menghayati misteri Ekaristi. Misteri Ekaristi adalah misteri kasih Tuhan yang mengosongkan diri-Nya, berbelarasa kepada kita manusia, dan membangun persekutuan yang utuh dengan Allah dan sesama.
Keagungan Misteri Ekaristi
3. Sudah sejak awal mula hingga sekarang dan selanjutnya, misteri Ekaristi senantiasa menjadi pusat hidup dan jantung hidup seluruh umat beriman. Konsili Vatikan II merumuskan Ekaristi sebagai sumber dan puncak seluruh hidup kristiani (LG 11). Oleh karena itu ajaran dan refleksi mengenai Ekaristi sangat padat dan kaya di sepanjang sejarah Gereja. Salah satu ajaran Magisterium mengenai misteri Ekaristi yang sistematis dan kaya dalam dekade terakhir ini ialah Ecclesia de Eucharistia (EE), yang merupakan ensiklik Paus Yohanes Paulus II untuk memperingati pesta perak pontifikatnya (tahun 2003), dan Anjuran Apostolik Pasca-Sinode dari Paus Benediktus XVI, Sacramentum Caritatis (SCar) yang diterbitkan pada tanggal 22 Februari 2007.
Beberapa poin ajaran para Paus ini mengenai Ekaristi dapat disebut di sini:
a. Ekaristi adalah karunia unggulan dan harta maha berharga dari Tuhan Yesus Kristus (EE 11), misteri iman dan misteri terang (EE 5.6), misteri agung dan misteri belas kasih (EE 11). Konsili Vatikan II sendiri telah merumuskan dengan sangat indah dan padat bahwa Ekaristi adalah misteri kenangan wafat dan kebangkitan Tuhan, kenangan korban salib Kristus, sakramen cintakasih, lambang kesatuan, ikatan cintakasih, perjamuan Paskah (SC 47). Rangkaian sebutan untuk Ekaristi ini menggambarkan keagungan dan kecemerlangan misteri Ekaristi. Hal ini disebabkan karena perayaan Ekaristi menghadirkan dan mengabadikan korban salib Kristus, yakni karya penebusan Tuhan bagi manusia (SC 47). “Pada peristiwa Paskah dan Ekaristi, yang menghadirkan seluruh abad, sungguh terdapatlah ‘kemampuan’ yang dahsyat untuk mencakup segenap sejarah sebagai wadah penyambut rahmat penebusan. Inilah pesona, yang seyogyanya memenuhi Gereja dalam satu paguyuban perayaan Ekaristi” (EE 5).
b. Ekaristi membangun Gereja dan bahkan Gereja hidup dari Ekaristi (EE 1). Seluruh proses pertumbuhan Gereja sejak awal hingga saat ini adalah berkat Ekaristi. Itulah sebab Ekaristi juga dipandang sebagai sumber dan puncak kehidupan serta perutusan Gereja (SCar 3). Ekaristi mempersatukan seluruh Gereja, yakni seluruh umat beriman dahulu dan sekarang, di sini dan di seluruh dunia. Indahlah apa yang dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II: “Saya telah merayakan Misa Kudus di jalan-jalan gunung, di pantai danau dan laut. Saya telah merayakannya di altar stadion dan lapangan-lapangan kota...Pelbagai panorama perayaan Ekaristi ini telah memeteraikan pengalaman yang sangat mengesankan bahwa Ekaristi bersifat universal, sungguh berciri kosmik. Benar-benar kosmik. Sebab, walaupun Ekaristi dirayakan di gereja desa yang sederhana, Ekaristi senantiasa dirayakan pada altar dunia. Ekaristi mempersatukan surga dan dunia. Ia merangkul dan meresapi segenap ciptaan” (EE 8).
c. Ekaristi juga berdimensi eskatologis. “Sungguh Ekaristi adalah secercah penampakan surga di atas bumi. Ekaristi adalah seberkas sinar mulia dari Yerusalem surgawi yang menembus awan sejarah dan menerangi peziarahan kita” begitu kata penuh kekaguman dari Paus Yohanes Paulus II. Justru dalam tegangan eskatologis ini, Ekaristi menjadi panduan bagi kita untuk mengarungi berabgai persoalan dan keprihatinan dunia yang amburadul sekarang ini. Paus Yohanes Paulus II sendiri menyebut berbagai permasalahan sosial sebagai bagian yang mesti kita geluti dan terangi dalam cakrawala keagungan Ekaristi.
“Banyak masalah telah meredupkan cakrawala dewasa ini. Kita wajib memikirkan kebutuhan yang mendesak bagi perdamaian, mendasarkan hubungan antar-bangsa atas premis-premis keadilan dan solidaritas yang tangguh, serta membela hidup manusia sejak kandungan hingga akhir alaminya. Dan apa yang patut kita katakan mengenai inkonsistensi-inkonsistensi ‘globalisasi’ dunia, di mana orang lemah, yang paling tidak berdaya dan paling miskin, hampir tidak punya harapan. Justru dalam dunia seperti ini, pengharapan Kristen harus lebih bersinar! Inilah juga alasan, mengapa Tuhan ingin tinggal bersama kita dalam Ekaristi, sembari menjadikan kehadiran-Nya dalam santapan dan kurban menjadi janji kemanusiaan yang diperbarui oleh kasih” (EE 20).
d. Berkat pembaruan dari Konsili Vatikan II, Paus Yohanes Paulus II ataupun Paus Benediktus XVI sangat bergembira dan bersyukur atas berbagai perkembangan yang bagus pada penghayatan Ekaristi umat beriman. Hal itu tampak misalnya pada semakin besarnya partisipasi aktif umat beriman dalam perayaan Ekaristi, praktek adorasi Ekaristi di banyak tempat yang menjadi sumber kesucian yang tak pernah kering, dsb. Akan tetapi Sri Paus Yohanes Paulus II menyayangkan berbagai keredupan dalam penghayatan Ekaristi ini. Bapa Suci menyebut: di berbagai tempat Adorasi Ekaristi hampir terlupakan sama sekali, penyalahgunaan dan pemiskinan yang hebat pada pemahaman dan praktek perayaan Ekaristi, dsb. Paus Yohanes Paulus II menolak berbagai praktek yang menyimpang itu dengan berkata: “Ekaristi adalah karunia yang terlalu berharga untuk diserahkan kepada ketidaktentuan dan pelecehan. Saya berharap agar surat ensiklik ini dapat memberikan sumbangsihnya bagi penghapusan awan kelam pada ajaran dan praktek yang harus ditolak, sehingga Ekaristi terus bersinar dalam seluruh misterinya yang cemerlang.” (EE 10).
Tiga unsur untuk menghidupi perayaan Ekaristi yang agung
4. Pemahaman dan penghayatan misteri Ekaristi sebagaimana diajarkan oleh Magisterium Gereja di atas jelas amat baik, benar dan indah. Akan tetapi persoalan pastoral kita ialah bagaimana umat beriman dapat menghayati ajaran mengenai Ekaristi yang seagung itu, apabila situasi dan kondisi masyarakat ataupun umat beriman tidak sambung? Gambaran kesulitan umat beriman dewasa ini sungguh tidak mudah diatasi, sebab perubahan suasana dan budaya manusia modern sekarang ini sangat cepat. Menurut pendapat saya, sebuah perayaan Ekaristi yang agung dan semarak tidak hanya ditentukan oleh ketepatan dan bagusnya teks tata perayaannya termasuk teks doa, pilihan nyanyian ataupun susunannya yang menyentuh dan kontekstual. Begitu pula perayaan Ekaristi yang agung dan semarak tidak hanya ditentukan oleh ketrampilan dan keseriusan pelayan Ekaristi (imam) ataupun para petugas liturgi. Akan tetapi sebuah perayaan Ekaristi yang agung dan semarak sangat juga ditentukan oleh disposisi batin umat beriman, entah itu disposisi batin si pelayan-petugas liturgi ataupun seluruh umat beriman yang hadir. Itulah tiga unsur yang harus serentak berjalan baik dan prima, apabila kita mengharapkan sebuah perayaan Ekaristi yang agung dan semarak. Apa gunanya sebuah perayaan Ekaristi yang telah dipersiapkan dengan sangat cermat dari sisi teks liturginya ataupun petugasnya, tetapi umat beriman hadir terlambat dan Handphone-nya di-ON-kan semua, tidak di-SILENT lagi, dan selama Misa umat pada SMS-an ataupun menerima telpon sambil menunduk-nunduk miring. Begitulah yang sering terjadi, banyak usaha pembaruan liturgi di banyak paroki yang sangat gencar dengan pembekalan liturgi kepada para petugasnya, penyusunan teks liturgi yang cermat dan pilihan nyanyian yang variatif dan bagus, akan tetapi sayangnya melupakan sisi persiapan bagi disposisi batin umat beriman. Disposisi batin umat beriman ialah sikap hati yang dengan penuh kerinduan sungguh-sungguh menghendaki untuk merayakan Ekaristi secara penuh, sadar dan aktif (bdk. SC 14).
Pengalaman keterpesonaan terhadap kekudusan Ekaristi
5. Makna terdalam dari disposisi batin umat terletak pada keterpesonaan atau kekaguman akan keagungan dan kekudusan Ekaristi[4]. Apabila orang memiliki keterpesonaan akan kekudusan Ekaristi itu, tentulah orang itu akan berusaha datang ke perayaan Ekaristi dengan penuh persiapan, rasa hormat dan khidmat agar dapat menimba kekuatan hidupnya dari Ekaristi. Malcolm Ranjith menyebut rasa terpesona atau kagum ini dengan sense of awe[5]. Rasa kagum atau terpesona ini pertama-tama mesti diarahkan pada misteri iman yang dirayakan, yaitu Tuhan sendiri yang mahakudus dan sekaligus mahamurah kepada kita umat-Nya. Kami sungguh yakin, apabila imam si pelayan Ekaristi dan bahkan seluruh umat tetap memiliki rasa kekaguman yang mendalam, rasa terpesona penuh penghormatan di hadapan Allah yang begitu kudus dan penuh belas kasih, perayaan Ekaristi akan dilaksanakan dengan sangat khidmat, hormat dan berdaya buah. Kisah panggilan Simon Petrus dalam Luk 5:1-11 kiranya memberikan inspirasi kepada kita. Ketika Simon menyaksikan banyaknya ikan yang ia dan teman-temannya tangkap berkat Sabda Yesus, Simon Petrus dipenuhi rasa terpesona dan kagum yang luar biasa sekaligus merasakan betapa dirinya kecil dan berdosa di hadapan Tuhan. “Ketika Simon Petrus melihat hal itu ia pun tersungkur di depan Yesus dan berkata: ‘Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa’” (Luk 5:8). Menyaksikan kemurahan dan kebaikan Tuhan yang begitu luar biasa, Simon Petrus menyadari bahwa di hadapannya hadir Dia yang mahakudus dan mahamurah. Gerakan “tersungkur” yang dibuat Simon Petrus merupakan ungkapan ketidakpantasan atau pengakuan diri sebagai pendosa di hadapan Tuhan yang mahakudus itu. Secara liturgis gerakan tersebut tampak melalui gerakan bertiarap (prostratio) atau bersembah-sujud yang terutama mau mengungkapkan: ketidaklayakan, pengakuan diri kecil dan pendosa, serta penghormatan kepada Tuhan yang Mahakudus. Gerakan “tersungkur” atau bersembah sujud di hadapan Tuhan ini dibarengi dengan ungkapan Simon yang eksplisit bahwa dirinya orang yang berdosa. Dengan demikian rasa terpesona atau kagum yang mesti dipelihara dalam diri orang yang merayakan Ekaristi itu bukan hanya menyangkut perasaan sentimental belaka, melainkan kekaguman yang tumbuh dari pengalaman iman yang mendalam karena menyaksikan karya agung Tuhan dalam hidup Gereja dan umat manusia, termasuk dirinya sendiri.
Pentingnya hidup doa dan devosi
6. Syarat untuk tetap memiliki rasa keterpesonaan dan kekaguman terhadap Tuhan dan misteri-Nya dalam Ekaristi tidak ada cara lain selain mengupayakan penghayatan hidup doa harian dan devosi secara teratur. Selain doa yang teratur disposisi batin yang berisi keterpesonaan kepada misteri agung Tuhan juga terbentuk melalui matiraga yang teratur pula. Doa dan matiraga adalah dua hal yang tidak terpisahkan dan menjadi prasyarat bagi kesuburan dan perkembangan hidup rohani. Sudah sebelum berkarya, Yesus berpuasa dan berdoa selama empat puluh hari (Luk 4:1-13 dan par.). Begitu pula sebelum memilih 12 rasul, Yesus pergi ke bukit untuk berdoa kepada Allah semalam-malaman. “Pada waktu itu pergilah Yesus ke bukit untuk berdoa dan semalam-malaman Ia berdoa kepada Allah. Ketika hari siang, Ia memanggil murid-murid-Nya kepada-Nya, lalu memilih dari antara mereka dua belas orang, yang disebut-Nya rasul” (Luk 6:12-13). Menarik pada kutipan itu bahwa Yesus berdoa semalam-malaman. Kata “berdoa semalam-malaman” jelas menunjuk bukan hanya soal intensitas Yesus yang sedang sungguh berdoa kepada Bapa-Nya, tetapi juga bahwa Yesus menyediakan waktu yang lama atau “berlama-lama” dalam berkanjang doa. Lain waktu dikisahkan dalam Injil: “Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia (Yesus) bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana” (Mrk 1:35). Masih banyak tempat dalam teks Kitab Suci yang menceritakan bagaimana Yesus selalu berdoa, sering berlama-lama, “tidak jemu-jemu” (Luk 18:1). Dan hidup doa-Nya itu selalu disertai kegiatan matiraga atau pengorbanan seperti puasa, tidur sedikit, bangun sangat pagi dsb. Begitu pula Gereja Perdana dan masa awal sangat tekun dalam doa dan matiraga (misalnya Kis 2:42; 4:31; 13:2-3). Dari catatan Kitab Suci itu tampaklah bahwa penghayatan hidup doa itu mencakup segi kemendalaman (intensitas-kwalitas), segi durasi dan keteraturan (kwantitas), dan pengorbanan atau matiraga. Demikianlah untuk memelihara rasa keterpesonaan terhadap Yang Kudus orang perlu sekali memiliki hidup doa yang mendalam dan ia sungguh mengambil waktu yang sangat cukup untuk berdoa. Kurangnya hidup doa pribadi dari siapapun yang merayakan Ekaristi akan mengurangi rasa kekaguman pada misteri iman yakni Tuhan yang dirayakan dalam Misa tersebut.
7. Hidup doa atau lebih luasnya hidup rohani yang perlu dihidupi secara teratur tentu saja doa-doa harian, seperti Ibadat Harian, devosi-devosi, ataupun berbagai doa bersama atau pribadi lainnya, dan pula meditasi, kontemplasi, serta juga penerimaan Sakramen Tobat yang teratur. Baik juga apabila orang juga membiasakan diri dengan bacaan rohani. Sedangkan salah satu devosi yang barangkali termasuk devosi yang paling mendukung untuk mengembangkan rasa keterpesonaan kepada Misteri Ekaristi adalah devosi Ekaristi, khususnya Adorasi Ekaristi ataupun visitasi. Tentang Adorasi Ekaristi ini, Magisterium Gereja tiada henti mendorong dan mendesak agar umat beriman rajin mengadakannya. Misalnya saja Paus Yohanes Paulus II berkata:
“Penghormatan terhadap Ekaristi di luar Misa adalah harta yang tak ternilai untuk hidup Gereja. Penghormatan ini berhubungan hakiki dg Perayaan Kurban Ekaristi. Kehadiran Kristus dalam rupa roti suci disimpan sesudah Misa – kehadiran yang bertahan selama terdapat rupa roti dan anggur – justru karena berasal dari perayaan kurban dan terarahkan kepada komuni, serentak sakramental dan rohani. Menjadi tanggungjawab para gembala, juga lewat kesaksian pribadi, mendorong adorasi Ekaristi dan khusus Pentahtaan Sakramen Mahakudus ini, disamping doa Adorasi depan Kristus yang hadir dalam rupa Ekaristi. Betapa menyenangkan berhening bersama Dia, bersandar ke dada-Nya, seperti murid tercinta (Yoh 13:25), sambil merasakan kasih tak terbatas dari hati-Nya. Bila pada dewasa kita, orang-orang kristiani harus dibedakan terutama oleh “seni berdoa”, bagaimana kita tidak merasa kebutuhan baru berwawancara rohani pada keheningan sujud, dalam kehangatan cinta, di depan Kristus, yang hadir dalam Sakramen Mahakudus? Saudara-iku, betapa seringnya saya mengalami ini, yang daripadanya saya menimba kekuatan, hiburan dan topangan” (Ecclesia de Eucharistia, 25).
Begitu pula Paus Yohanes Paulus II menyerukan agar kita tidak pernah berhemat waktu untuk dapat beradorasi: “Gereja dan dunia sungguh memerlukan kebaktian kepada Ekaristi Mahakudus. Yesus menantikan kita dalam Sakramen Kasih-Nya ini. Marilah kita tidak berhemat dengan waktu kita. Marilah kita tidak hitung-hitung dengan waktu kita untuk menjumpai Tuhan dalam Adorasi dan kontemplasi yang penuh iman dan siap memberi silih bagi dosa besar dan kejahatan dunia. Semoga adorasi kita tak akan pernah berhenti!” (Dominicae Cenae). Paus Benediktus XVI menegaskan pula pentingnya Adorasi Ekaristi: “Bersama sidang sinode, dengan sepenuh hati saya menganjurkan kepada para gembala Gereja dan umat Allah agar membiasakan diri mengadakan Adorasi Ekaristi, baik secara pribadi maupun bersama dalam komunitas……Bila mungkin, kiranya baik mengkhususkan gereja atau rumah doa tertentu untuk Adorasi Ekaristi Abadi” (SCar 67). Dari pengalaman saya pribadi, kebiasaan teratur dalam beradorasi Ekaristi dan visitasi sangat membantu kesuburan hidup rohani dan terutama mengembangkan rasa keterpesonaan dan kekaguman kepada misteri Ekaristi. Selain devosi Ekaristi, devosi kepada Bunda Maria juga sangat membantu secara istimewa dalam mendekatkan diri kita pada Tuhan Yesus Kristus.
Ars Celebrandi
8. Keterpesonaan terhadap kekudusan Ekaristi ini yang mesti dipelihara melalui hidup doa dan devosi yang teratur akan sangat membantu setiap orang beriman untuk menghayati ars celebrandi, sebuah istilah yang cukup sering disebut dalam sinode para Uskup tahun 2005 mengenai Ekaristi. Dalam anjuran apostolik Sacramentum Caritatis, Paus Benediktus XVI mengatakan bahwa ars celebrandi (seni merayakan secara tepat) adalah jalan terbaik untuk meyakinkan participatio actuosa (partisipasi aktif) (SCar 38). Bagi Paus Benediktus XVI, ars celebrandi ini hendaknya memajukan suatu kepekaan terhadap yang kudus dan penggunaan tanda-tanda lahir yang membantu mengembangkan kepekaan ini (SCar 40). Paus Benediktus XVI sendiri melihat adanya beberapa dimensi dalam istilah ars celebrandi itu[6]. Dimensi pertama ada pada makna perayaan sebagai doa, yaitu percakapan (conversation) dengan Allah. Allah bersama kita dan kita bersama Allah. Bagi Sri Paus, perayaan liturgi pertama-tama adalah sebuah doa, yakni doa bersama seluruh Gereja dalam percakapan dengan Allah. Selanjutnya, Sri Paus melihat pentingnya orang masuk ke dalam percakapan tersebut. Yang menarik ialah bahwa Paus Benediktus mengutip asas pendarasan Mazmur menurut peraturan Santo Benediktus: Mens concordet voci, yang kurang lebih dapat diterjemahkan “akal budi selaras dengan suara atau kata-kata”. Artinya, pembaca Mazmur mesti menyelaraskan budi dan pikirannya dengan kata-kata Mazmur yang didarasnya. Kata-kata ada lebih dahulu yaitu sebagaimana tertera dalam teks doa, sedangkan akal budi kita yang membaca mesti menyelaraskan atau masuk ke dalam isi dari kata-kata tersebut. Dari situ Sri Paus menjelaskan bahwa dalam perayaan liturgi, kata-kata doa telah ada dan tertera dalam teks, kemudian kitalah yang harus menyesuaikan dengan kata-kata doa dalam teks tersebut. Kita yang harus masuk ke dalam kata-kata itu sehingga menemukan keselarasan dengan realitas yang telah mendahului kita. Itulah sebabnya, ars celebrandi bagi Paus Benediktus terutama merupakan cara menginteriorisasikan atau menginternalisasikan seluruh misteri iman yang dirayakan dalam tata perayaan liturgi sehingga akhirnya kita dan seluruh umat beriman dapat berpartisipasi dalam seluruh perayaan iman tersebut. Paus Benediktus tidak menghendaki pemahaman ars celebrandi berhenti pada persoalan bagaimana perayaan liturgi dapat menjadi suatu tampilan memukau laksana sebuah show atau teater, tetapi pada penghayatan misteri iman kesatuan dengan Allah yang hadir dalam perayaan liturgi itu dan bagaimana kita masuk ke dalam inti misteri ini[7]. Dari sinilah segala keindahan perayaan liturgi mengalir dan dapat dipikirkan atau diungkapkan.
Penutup
9. Sejak semula, baik dalam praktek maupun ajarannya, Gereja tidak pernah memisahkan antara kehidupan liturgi dan kehidupan sehari-hari. Hal ini tampak pada ajaran para bapa Konsili Vatikan II yang mengatakan bahwa liturgi menjadi puncak yang dituju oleh semua kegiatan Gereja dan sekaligus sumber segala daya kekuatannya (SC 10). Selanjutnya SC 10 menyatakan bahwa liturgi mendorong umat beriman untuk hidup dalam kasih dan kemudian mengamalkan dalam hidup sehari-hari apa yang diperoleh dalam iman; liturgi, terutama Ekaristi, merupakan sumber yang mengalirkan rahmat kepada kita dan dengan hasil guna yang amat besar diperoleh pengudusan manusia dan pemuliaan Allah dalam Kristus, tujuan semua karya Gereja lainnya. Dari ajaran Gereja ini jelas bagi kita bahwa pengalaman akan misteri Ekaristi bukanlah pengalaman esoteris atau yang seolah-olah terpisah dari kehidupan nyata sehari-hari. Sebaliknya pengalaman akan misteri Ekaristi mengandaikan berbagai unsur dan segi dari kehidupan kita yang harus diperhatikan, baik kita sebagai Gereja maupun sebagai warga masyarakat dunia. Satu hal adalah pasti bagi saya, betapa untuk mencapai kesuburan hidup iman yang dapat sungguh masuk ke dalam misteri kekudusan Ekaristi diperlukan sebuah proses waktu yang tidak sebentar. Kiranya tepatlah apabila kita rajin masuk sekolah, seperti kata-kata ibu guru kita sewaktu TK atau SD, tetapi kini kita perlu rajin masuk Sekolah Maria, Wanita Ekaristi, sebagaimana ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Ecclesia de Eucharistia. Beliau menulis: “Apabila kita ingin menemukan kembali seluruh kekayaan kedalaman hubungan Gereja dengan Ekaristi, kita tidak boleh melupakan Maria, Bunda dan Model Gereja....Maria adalah ‘wanita Ekaristi’ dalam seluruh hidupnya” (EE 52). Bunda Marialah yang dapat kita pandang sebagai teladan utama dalam hal anugerah pengalaman yang mendalam dan agung akan misteri Ekaristi!
Daftar Bacaan
Benediktus XVI, Pope’s Response to Priests on the Liturgy, Jawaban atas pertanyaan Pastor Vittorio Petruzzi dari Paroki Aprilia, tanggal 31 Agustus 2006, sumber: http://www.zenit.org/article-17088?l=english
Benediktus XVI, Sacramentum Caritatis, Anjuran Apostolik Pasca-Sinode, 22 Februari 2007.
Benediktus XVI, Bapa-bapa Gereja. Hidup, Ajaran, dan Relevansi bagi Manusia di Zaman Kini, Dioma, Malang, 2010.
Dewan Karya Pastoral KAS, Nota Pastoral: Menghayati Iman dalam Arus-arus Besar Zaman ini, Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Malcolm Ranjith, Archbishop, “Toward an Ars Celebrandi in Liturgy”, Gateway Liturgical Conference Address in November 2008, http://adoremus.org/0309Ranjith.html
Mitchell, N.D., Meeting Mystery. Liturgy, Worship, Sacraments, Orbis Books, Maryknoll-New York, 2006.
Yohanes Paulus II, Ecclesia de Eucharistia, Surat Ensiklik mengenai Ekaristi dan Hubungannya dengan Gereja, 17 April 2003.
[1] Dikutip dari Paus Benediktus XVI, Bapa-bapa Gereja. Hidup, Ajaran, dan Relevansi bagi Manusia di Zaman Kini, Malang: Dioma, 2010, hlm. 215. Sri Paus mengomentari santo Efrem: “Teologinya sekaligus menjadi liturgi, menjadi musik: ia memang seorang komponis, seorang musisi. Teologi, renungan tentang iman, puisi, nyanyian dan pujian kepada Allah berjalan bersama. Justru dalam bentuk liturgis ini, kebenaran ilahi muncul dengan jelas dalam teologinya”, hlm. 213.
[2] Dikutip dari Paus Yohanes Paulus II, Ecclesia de Eucharistia art. 15.
[3] Dewan Karya Pastoral KAS, Nota Pastoral: Menghayati Iman dalam Arus-arus Besar Zaman ini, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hlm. 9.
[4] Gagasan ini telah saya sampaikan dalam tulisan saya: Ars Celebrandi – Menuju Gereja Mistik yang Semakin Ekaristis, dalam Gereja yang Melayani dengan Rendah Hati, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm. 43-45.
[5] Malcolm Ranjith, Toward an Ars Celebrandi in Liturgy
[6] Berikut mengikuti penjelasan dari Paus Benediktus XVI ketika memberi jawaban atas pertanyaan mengenai liturgi dari seorang imam dari paroki di Aprilia, pada tanggal 31 Agustus 2006.
[7] Misalnya saja Paus Benediktus berkata: “the ‘ars celebrandi’ is not intended as an invitation to some sort of theater or show, but to an interiority that makes itself felt and becomes acceptable and evident to the people taking part. Only if they see that this is not an exterior or spectacular "ars" -- we are not actors! -- but the expression of the journey of our heart that attracts their hearts too, will the liturgy become beautiful, will it become the communion with the Lord of all who are present”. Sumber: http://www.zenit.org/article-17088?l=english. Begitu pula saat berjumpa dengan para imam dan diakon di Katedral St. Maria dan St. Corbinia, Freising, Jerman tanggal 14 September 2006, Paus Benediktus XVI mengulangi pentingnya ars celebrandi ini. Lihat: http://www.vatican.va/holy_father/benedict_xvi/speeches/2006/september/documents/ hf_ben-xvi_spe_20060914_clergy-freising_en.html