MENJADI RELIGIUS MISTIKUS
PADA JAMAN SEKARANG
(c) Hak cipta ada pada Sr. Merry Teresa H. Carm
Disampaikan dalam Workshop Para Formator di Malang 2012
1. Dipanggil untuk makin bertumbuh dan menjadi sempurna
Seperti proses hidup manusia pada umumnya, hidup rohani pun ditandai oleh pertumbuhan, perubahan dan perkembangan hidup di dalam Kristus yang mengubah manusia menjadi serupa dengan Allah walau pun tak sama. Setiap orang Kristen dipanggil untuk bertumbuh dalam kepenuhan, diundang untuk mengalami Yesus Kristus secara mendalam (bdk. 2 Ptr 3:18). Dengan kata lain, orang beriman mesti “bertumbuh dalam kasih” dan bersatu dengan Kristus (Ef 4:15).
Mistik merupakan panggilan bagi setiap orang beriman. Bila panggilan ini sungguh disadari dan dihayati, maka dapat dikatakan bahwa seorang kristiani adalah seorang mistikus, karena hidup seorang kristiani merupakan partisipasi dengan hidup Allah sendiri. Apapun bentuk hidup yang kita dipilihnya, setiap orang diundang ke dalam persatuan akrab dengan Allah.
Tujuan dari pertemuan bagi para formator religius ini adalah memerkuat dan memertajam pemahaman dan penghayatan semangat kontemplatif dan hidup mistik pada jaman sekarang. Ciri khas kehadiran Religius dalam Gereja dan masyarakat adalah menghayati hidup doa atau keakraban ilahi. Religius memang dipanggil untuk menghayati hidup mistik, untuk mengalami Allah dalam keseharian.
Selain mendapat anugerah mengalami Allah, Religius juga memunyai misi menghantar sesama kepada Allah dan masuk dalam pengalaman bersama-Nya. “Misi kita sebagai Religius adalah mengalami Allah yang hidup dan benar, dan melayani-Nya dalam sesama melalui kesaksian hidup dan kegiatan kerasulan, sesuai karisma dan spiritualitas tarekat kita masing-masing.[1]
Menyadari misi luhur kita dalam Gereja, maka ada baiknya kita memahami dengan benar apa itu mistik kristiani dan fenomen-fenomennya serta disposisi batin apa yang mesti dimiliki seorang Karmelit untuk menghayati hidup mistik.
2. Pengalaman iman dalam keseharian
Religius dipanggil secara khusus kepada hidup doa, kontemplasi. Bagi kita, menghayati hidup doa berarti terus-menerus mencari Allah dan membiarkan diri dibimbing oleh Roh Kudus menuju persatuan cinta dengan Tritunggal Maha Kudus, pengalaman yang menyatukan diri kita dalam misteri Kristus dan yang mendorong kita untuk bekerja membangun Kerajaan Allah. Hidup doa ini berarti melulu hidup untuk Allah dan berjalan di bawah pandangan-Nya[2].
Doa sebagai sikap hidup, menempatkan Allah pada pusat keberadaan kita dan membuat kita hidup dalam hubungan yang tetap denganNya. Sikap kontemplatif membuat kita mampu menemukan wajah-Nya dalam hati saudara-saudari kita dan kehadiran-Nya dalam peristiwa-peristiwa hidup, dalam aneka kegiatan dan pekerjaan sehari-hari, di setiap kejadian, baik suka maupun duka[3].
Pengalaman mistik membuat kita mengalami kehadiran Allah dan melihat-Nya dalam segala, baik dalam komunitas, di tempat kerja, dalam hidup bermasyarakat, dalam hidup doa, dalam pelayanan kesehatan, karya amal, maupun saat orang mewartakan Kabar Gembira. Ada orang yang mengalami kehadiran Allah hanya sesaat, namun sungguh-sungguh nyata.
Ada pula orang yang mengalami kehadiran Tuhan dalam penderitaan dan sakitnya, yang memampukannya untuk tetap bersabar dan bertahan dalam kesulitan. Seorang ibu muda terbaring tak berdaya karena kanker rahim yang dideritanya. Wajahnya pucat, namun tampak ketenangan dan kepasrahan di wajahnya. Beberapa hari setelah kematiannya, sang suami menemukan secarik kertas di samping tempat tidur almarhum isterinya. Isinya berupa doa singkat yang mendalam dan trinitaris: “Terpujilah Allah Bapa, karena meski aku berdosa, telah dicintai, dihibur dan diampuniNya. Terpujilah Yesus Kristus yang wafat di salib untuk mengajarku menderita dengan diam. Terpujilah Roh Kudus yang kurasakan hadir dalam diriku. Meski aku amat rapuh, Dia memampukanku mengatasi saat-saat sulit”.
Dalam kegembiraan orang juga dapat mengalami kehadiran Tuhan, sehingga di mulutnya terlontar pujian dan di hatinya dipenuhi syukur. “Bersyukurlah kepada Tuhan, sebab Ia baik. Kekal abadi kasih setiaNya” (Mzm 118:1). Bahkan dalam peristiwa kematian pun, orang dapat merasakan kehadiran-Nya yang nyata dan menghibur. “Terpujilah Allah, terpujilah Allah, terpujilah Allah”. Tiga kali terungkap seruan pujian kepada Allah sesaat menjelang kepergian Suster Elisea Oliver Molina menghadap Bapa.
Fransiskus dari Assisi mengungkapkan pengalamannya akan Allah yang menciptakan segala sesuatu dengan indah dalam “Madah Ciptaan”[4]. Jejak-jejak kehadiran-Nya yang nyata dalam semesta, dalam makhluk hidup, dalam tumbuhan dan binatang memampukan Fransiskus menyebut matahari sebagai saudaranya dan bulan sebagai saudarinya. Bahkan air, bintang dan kematian pun disapanya sebagai saudara-saudarinya.
Yohanes dari Salib mempunyai kerinduan untuk mencapai puncak gunung yaitu “Persatuan jiwa dengan Allah”. Sang mistikus dan nabi ini pernah mengalami pergulatan iman dan memiliki kerinduan akan hidup rohani yang lebih mendalam. Dia juga merasa prihatin melihat orang yang tidak dapat maju dalam hidup rohani karena tidak memiliki pemahaman yang benar akan hal tersebut.
Bagi Yohanes, kita menuju Allah melalui Yesus Kristus, meneladan-Nya dalam segala hal. Mengikuti Kristus berarti memiliki pengalaman akan Yesus, bekerja seperti yang dikerjakan-Nya dan mengalami segala hal seperti yang dialami Yesus. Yohanes dari Salib menuliskan perjalanan rohani persatuan manusia dengan Allah melalui Yesus dengan proses sebagai berikut[5]:
1. Jalan cinta yang tersalib (“Mendaki Gn Karmel” dan “Malam Gelap”)
2. Mencari dan menemukan (“Madah Rohani”)
3. Persatuan cinta (“Nyala cinta yang hidup”)
Teresa dari Yesus mengalami kehadiran Allah dalam doa. Mistikus dan Pujangga dalam ‘hidup doa’[6] ini menuliskan kehadiran Allah dalam jiwa, di dalam buku PURI BATIN yang berisi ajaran rohani perkembangan relasi manusia dengan Allah.[7] Dalam tulisannya, Teresa melukiskan proses masuk ke dalam diri sendiri untuk bersatu dengan Tritunggal Mahakudus yang membuat manusia memiliki kebajikan-kebajikan dalam hidup dan kesuburan dalam pelayanan.
Edith Stein yang kemudian memakai nama biara Teresa Benedikta dari Salib adalah seorang filsuf Yahudi, rubiah dan martir. Selama hidupnya dia berusaha setia pada doa, baik pribadi maupun doa bersama. Baginya, doa dan kehidupan begitu menyatu dalam perbuatan nyata mengasihi sesama. Di tengah kesibukannya, Edith tetap mencari saat hening agar dapat berbicara mesra dengan Tuhan.
Manusia spiritual, menurut Edith Stein, adalah manusia yang bebas, yang memiliki kesadaran untuk membatinkan setiap pengalaman hidupnya dan merindukan persatuan dengan Allah. Edith membahas tentang mistik dalam bukunya ‘Wege der Gotteserkenntnis”
“Kita sekarang mengajukan pertanyaan: Kepastian apa yang diberikan kepada seorang nabi apabila berdiri di hadapan Tuhan? Melihat dengan mata atau dengan kemampuan menggambarkan adalah bukan yang utama. Ini semua akan dapat sirna, tanpa kehilangan kepastian batin, bahwa Tuhanlah yang berbicara. Kepastian ini dapat berlandaskan pada ‘perasaan’ bahwa Tuhan hadir: kita merasa disentuh sampai ke inti yang terdalam oleh Dia, Yang Hadir. Ini adalah sesuatu yang disebut ‘pengalaman Allah’ dalam arti yang sesungguhnya. Ini adalah inti dari semua pengalaman mistik, perjumpaan dengan Tuhan dari pribadi ke pribadi. Penglihatan/ penampakan indrawi, seperti yang terjadi pada Yesaya, dapat menyertainya, tetapi tidak merupakan gejala yang esensial”[8].
Inti bagi mistik bagi Edith Stein adalah perjumpaan pribadi antara manusia dengan Pribadi Tuhan. Gejala mistik seperti penampakan, ekstase dll tidak termasuk pada inti mistik. Gejala adikodrati semacam ini tidak terjadi dalam hidup Edith Stein. Bagi filsuf dan mistikus ini, “pengetahuan salib” hanya dapat diperoleh jika orang telah mengalami salib secara mendalam. Ambil bagian dalam hidup Kristus. Bagaimana kita dapat sampai ke persatuan dengan Kristus? Edith menghayatinya dengan doa, baik liturgi maupun pribadi: Ekaristi dan sering berlutut di depan tabernakel.[9]
Penghayatan Edith Stein akan salib nampak dalam doanya:
“Terpujilah Engkau, Salib Suci, satu-satunya harapan kami!”
Berdirilah di hadapan Tuhan yang bergantung di salib dengan lambung terbuka. Ia mencurahkan darah yang berasal dari dalam hati-Nya sendiri untuk merebut hatimu. kutilah Dia dalam kemurnian hati, maka hati kita bebas dari setiap khayalan duniawi. YESUS TERSALIB harus menjadi tujuan segala perasaan rindumu, setiap keinginan dan setiap pikiranmu. Salib adalah jalan yang menuntun kita ke surga. Siapa yang memeluknya dengan iman, cinta dan harapan, akan terangkat ke dalam hati tersuci Allah Tritunggal. Melalui kekuatan salib, engkau dapat bertahan dalam penderitaan; di manapun juga engkau akan menghadapinya dengan membawakan cinta yang bernyala, cinta yang berasal dari Hati Ilahi”.
Ignatius dari Loyola mengalami Allah dalam setiap kegiatannya. Dalam Ekaristi, Ignatius menimba kekuatan untuk menanggapi panggilan mencari dan menemukan Allah dalam segala hal dan menyesuaikan kehendaknya dengan kehendak Allah saat melayani Tuhan[10].
Demikian pula Vincentius a Paulo mengalami Allah dalam pelayanannya, sehingga dia berani meninggalkan Allah untuk menjumpai Allah[11]. Vincentius mengalami Kristus, bukan dalam suatu penglihatan (visiun) atau pewahyuan, melainkan dalam dua perjumpaan di Folleville dan Châtillon. Pengalaman ini membangkitkan semangat pertobatan dalam dirinya, yang akhirnya membawa Vincensius untuk mencari Allah dalam pelayanan orang miskin. Baginya, orang miskin adalah tuan-tuan dan majikan-majikan, karena Kristus sendiri ada dalam diri mereka.
3. Perlunya semangat dan tindakan ‘Membedakan Roh”
Mistik kristiani bukanlah pengalaman bagi sekelompok orang tertentu yang telah mengalami transformasi psiko-spiritual pribadi dengan menggunakan meditasi atau terapi tertentu, namun merupakan anugerah Allah dan kerjasama manusia. Bukan pertama-tama karena manusia mencari Allah, maka dia dapat merasakan kehadiran-Nya, namun justru Allah yang mencari dan menyatakan diriNya pada manusia.
Sebagai Anugerah, maka kedekatan dengan Allah tidak didasarkan pada teknik-teknik meditasi atau metode dan cara-cara tertentu. Pengalaman ini pun membutuhkan usaha dan disposisi dari pihak manusia. Memang ada teknik-teknik spiritual yang bermanfaat untuk dipelajari, namun Allah dapat menggunakannya atau bahkan melewatkannya[12].
Tidak mudah membedakan manakah pengalaman mistik yang sejati dan manakah mistik yang semu, maka perlu adanya semangat dan tindakan “membedakan Roh”[13]. Kriteria untuk melihat keautentikan pengalaman ini adalah kerendahan hati, persatuan dengan umat, kesepadanan hidup dan pelayanan kepada dunia, serta buah-buah cinta (bdk. Gal 5:6); sebab pengalaman mistik selain pengalaman pribadi, namun juga pengalaman komuniter demi kebaikan bersama. Pertumbuhan rohani atau kemajuan dalam hidup mistik ditandai dengan bertambahnya kesadaran akan ketidakpantasan diri sebagai ciptaan dan kerinduan untuk lebih menyamakan diri dengan kemiskinan Kristus. Selain itu muncul juga rasa syukur mendalam yang dibarengi dengan sikap sembah sujud.
4. Beberapa kesulitan berbicara mengenai mistik
Beberapa alasan sulitnya berbicara mengenai mistik kristiani, adalah:
- Kerapkali orang hanya menekankan fenomen-fenomen yang bersifat luar biasa dan mengesampingkan kedalaman perjumpaan dengan Allah, yang terjadi dalam iman di dalam kehidupan sehari-hari.
- Ada orang yang cenderung menyempitkan pengalaman akan Allah dalam aliran filsafat atau psikologi tertentu. Mistik tidak dapat disamakan dengan gejala parapsikologis.
- Kerap tersembunyi egoisme orang yang ingin “memiliki” Allah, rahmat dan pengalaman-Nya sebagai obyek yang dapat dikuasai dan memberi jaminan pribadi.
- Ada kelompok kecil para pemula yang menyempitkan hidup rohani hanya pada kegiatan-kegiatan rohani.
Selain itu, mengenal pengalaman akan Allah pada seseorang tidaklah mudah, karena pengalaman akan Allah itu sukar dibahasakan dan merupakan pengalaman yang amat personal. Pengalaman akan Allah ini biasa diekspresikan lewat simbol-simbol. Bahasa simbol itu terbatas, sehingga ungkapan dan bahasanya pun terbatas. Mistik memakai bahasa lambang atau perumpamaan, seperti: “perkawinan jiwa”, “terbakar bagaikan kayu kering”, “mabuk cinta”, “nyala cinta yang hidup”, “relasi kekasih antara jiwa dengan Tuhan”, “ udara yang menyala dan api yang membara”, “mendaki Gunung Karmel”, “malam gelap”, “kupu-kupu mistik”, “kegelapan jiwa”, “Allah bersembunyi di dalam jiwa”, “panah cinta”, “luka cinta”, “ istirahat dalam tangan Maria”, dsb.
5. Mistik Kristiani dan Fenomen-fenomennya
Fenomen-fenomen khusus dan luar biasa memang bisa menyertai pengalaman mistik kristiani, namun kita perlu berhati-hati, sebab gejala-gejala semacam itu bukanlah yang pokok dan tak mutlak diperlukan. Pengalaman mistik bisa terjadi tanpa disertai fenomen apa pun. Ada banyak mistikus besar yang mengalami kehadiran Allah yang mengubahnya, tanpa pernah beroleh pengalaman fenomen mistik yang istimewa. Fenomen khusus itu bukanlah kriteria suatu kesucian atau kehebatan seseorang, karena ukuran kekudusan kristiani adalah kesempurnaan dalam kasih.
Berikut ini fenomen-fenomen yang mempesona dan memikat dalam hidup rohani yang banyak dikenal orang:
A). Fenomen Batin
1). Revelasi (pewahyuan) pribadi. Setiap orang Kristen mengenal pewahyuan “publik”, yaitu Sabda Allah yang telah ditulis atau disampaikan secara lisan. Tetapi dalam perjalanan sejarah, Tuhan berkenan berbicara dan memberikan RahmatNya kepada beberapa orang beriman mengenai misteri-misteri agama[14], kebaktian dalam Gereja, dsb.
Sebagaimana pewahyuan publik, demikian juga pewahyuan “pribadi” perlu mendapat pengesahan dan pengakuan dari Magisterium Gereja. Beberapa pengarang mistik memberikan “patokan Pembedaan Roh” untuk melihat keautentikan suatu revelasi pribadi. Kiranya perlu kita hindari dua sikap ekstrem, pertama: sikap menolak mentah-mentah semua bentuk revelasi pribadi dan menganggapnya hanya ilusi atau suatu gejala neurotik belaka; kedua: sikap menerima begitu saja. Dalam hal ini Teresa dari Yesus berkata: “Untuk hal-hal semacam itu, kita perlu waspada sampai kita tahu kebenarannya” (Moradas sextas, c.3, p.3).
2). Revelasi itu kerap disertai dengan vision (penglihatan) yang dapat digolongkan dengan vision “indrawi”, dimana mata seakan dapat melihat sesuatu secara nyata; vision “imaginasi” dan vision “intelektual”.
3). Kata dan suara. Seseorang dapat mendengar kata-kata secara jelas melalui pendengaran batinnya. Kata-kata itu merupakan tanda persatuan mendalam seorang mistikus dengan Allah. Fenomen ini dapat kita lihat dari pengalaman Paulus dari Tarsus dalam perjalanannya ke Damaskus (cf. Kis 9:1-19) atau pun dari para mistikus lainnya.
B). Fenomen Lahiriah
1). Stigmata. Seseorang mendapatkan luka-luka seperti yang dimiliki Kristus pada tangan, kaki atau pada lambungnya sendiri, bahkan kadang terjadi pada wajahnya. Fenomen ini kadang muncul dan kadang menghilang, terjadi berulang-ulang dengan frekuensi yang kurang lebih tetap. Biasanya terjadi pada hari-hari yang dikuduskan untuk mengenang kesengsaraan Jesus. Pada beberapa orang, stigmatisasi disertai pula dengan mengalirnya darah yang tak dapat dibendung oleh obat-obatan dokter.
2). Levitasi atau pengangkatan merupakan bentuk fenomen adikodrati yang lain. Tubuh seakan menjadi ringan dan gesit, dapat melayang, terangkat dan bahkan dapat berpindah tempat. Gejala ini pernah dialami oleh Teresa dari Yesus dan Yohanes dari Salib pada saat mereka berdua mengadakan percakapan di ruang tamu biara “Encarnación” Avila.
3). Terang bercahaya. Suatu fenomen dimana seseorang dikelilingi oleh aura bercahaya atau dibungkus oleh aureola/lingkaran yang memancarkan sinar.
4). Bau harum yang lembut dan menyenangkan. Fenomen ini sering terjadi pada saat membuka peti jenasah seseorang yang akan diproses untuk beatifikasi.
5). Ekstase merupakan gejala yang menyertai pengalaman rahmat yang besar dan yang tak cukup kuat ditanggung oleh manusia sehingga badannya seakan menjadi kaku dan dingin, disertai terhentinya pernafasan untuk beberapa saat, tetapi orang tersebut tetap dalam keadaan sadar. Gejala ini merupakan tanda ketaksempurnaan kodrat yang tak cukup kuat untuk menerima Karya Ilahi.
Dalam proses perjalanan untuk bersatu dengan Allah, manusia dapat mengalami fenomen-fenomen luar biasa, namun pengalaman itu bukanlah yang utama dalam hidup rohani. Fenomen-fenomen diberikan oleh Allah kepada siapa Dia berkenan dan kapan saja Dia bersedia menganugerahkannya.
Cukup banyak orang yang membanggakan fenomen “paramistik” itu dan bahkan berusaha mencarinya lewat berbagai cara; namun kerap hal tersebut merupakan gejala psikosomatis yang ingin dialami dan dirasakan seseorang seturut kehendaknya sendiri. Bila demikian halnya, apakah kita bukan memanipulasi Allah?
Sepanjang hidupnya, beberapa penghayat hidup rohani kerap mengalami gejala-gejala istimewa, tetapi ada banyak mistikus sejati yang tak pernah mengalaminya, seperti Vinsentius a Paulo, Fransiskus dari Sales, Teresa dari Kanak-kanak Yesus, Edith Stein, dsb. Apakah mereka memang tak pernah mengalami ataukah mereka ingin menyembunyikannya? Kita tidak mengetahuinya, namun yang pasti, kesucian seseorang tak diukur oleh adanya gejala-gejala mistik itu, melainkan pada kesempurnaan cinta melalui ketaatannya pada Kehendak Ilahi.
6. Disposisi batin untuk mengembangkan dan memupuk hidup mistik
Pengalaman mistik kristiani merupakan rahmat Allah yang membutuhkan kerjasama manusia. Allah menganugerahkan Diri-Nya sendiri dan manusia perlu berupaya. Usaha dan disposisi kita adalah belajar untuk berhati murni, melatih semangat penyangkalan diri, keheningan dan kesendirian, serta doa.
- Murni hati (puritas cordis)
Kemurnian hati menjadi syarat mutlak untuk dapat hidup bersemuka dengan Allah. ‘Berbahagialah orang yang murni hatinya, karena mereka akan melihat Allah’ (Mat 5: 8).
- Penyangkalan diri
Kesadaran bahwa manusia memiliki kodrat yang terluka dan condong kepada yang jahat, membuat kehidupan ini menjadi suatu perjuangan rohani yang perlu tetap dihayati oleh setiap orang yang ingin menuju kesempurnaan mengikuti Kristus. Askese merupakan usaha terus-menerus untuk menjaga kesatuan dengan Kristus, dengan berdisiplin diri, berjuang melawan manusia lama dan kelemahannya, agar kita menjadi manusia baru di dalam Yesus.
- Keheningan dan kesendirian.
Keheningan dan kesendirian membantu untuk menghayati hidup batin yang mendalam. Meski Religius tidak mempunyai saat hening dan kesendirian secara lahiriah, tetapi keheningan batin tetap diperlukan untuk berkembang dalam doa dan bertumbuh dalam pelayanan kepada sesama. Kita membutuhkan kebiasaan dalam kesendirian untuk mendengarkan “diri sendiri”, untuk mendengarkan SESEORANG yang diam dalam diri kita, mendengarkan sesama dan lingkungan.
- Doa
Religius tanpa doa, bukanlah seorang Religius. Doa sebagai relasi pribadi perlu dipupuk dengan mencari waktu dan tempat untuk hadir bersama-Nya. Melalui doa dan perjumpaan terus-menerus dengan Sabda Allah, kita belajar menemukan Allah dalam hidup sehari-hari dan untuk mempercayakan diri kita kepadaNya dalam perjalanan transformasi batin.
Pujian bagi Ketiga-Nya!!
[3] Bdk. Konstitusi Ordo Para Saudara Santa Perawan Maria dari Gunung Karmel 1995, art. 19
[4] Bdk. V. Battaglioli, “San Francisco de Assis”, dalam: Diccionario de Mística, San Pablo, Madrid, 2002, hal. 747-754.
[5] Bdk. J. Garrido, Relectura de San Juan de la Cruz, Ed. Paulinas, Madrid, 1991, lihat juga tulisan S. Castro, Hacia Dios con San Juan de la Cruz, EDE, Madrid, 1986.
[6] Bdk. A.M. Sicari, ”Santa Teresa de Jesús”, dalam: Diccionario de Mística, San Pablo, Madrid, 2002, hal. 1667-1670. Beberapa tulisan yang berbicara tentang doa Teresiana: Jesús Castellano Cervera, “Teresa de Jesús nos enseña a orar”, en T. Álvarez-J. Castellano, Teresa de Jesús, enséñanos a orar, Ed. Monte Carmelo, Burgos, 1983³; D. de Pablo Maroto, Dinámica de la oración. Acercamiento del orante moderno a Santa Teresa de Jesús, EDE, Madrid, 1973.
[7] Teresa de Jesús, Moradas, Primeras: cap 1,1 y 3, en: Obras Completas, séptimo edición, preparada por Tomas Álvarez, Ed. Monte Carmelo, Burgos, 1994.
[10] Bdk. M. Ruiz Jurado, “San Ignacio de Loyola”, dalam: Diccionario de Mística, San Pablo, Madrid, 2002, hal. 880-883. Lihat juga tulisan San Ignacio de Loyola, “Autobiografia”, por el R.P. Cándido de Dalmases, en: Obras Completas, BAC, Madrid, 1982, hal. 163.
[11] SV VI, 47.
[12] Pontifical Council for Culture - Pontifical Council for Interreligious Dialogue, op.cit., hal. 58.
[13] Bdk. G. Moioli, “Mística Cristiana”, en: Nuevo Dicc. de Espiritualidad, San Pablo, Madrid, 1991, 1266- 1281.
[14] Rasul Paulus mengungkapkan pengalamannya kepada jemaat di Galatia bahwa ajaran yang diwartakannya kepada mereka telah diterimanya dari revelasi Yesus sendiri (cf.Gal 1:11-12).