DOA DAN HIDUP MISTIK

© Hak cipta pada penulis:  Dr. Tom Jacobs dan  Scheltinga – 1975
Dibawakan dalam Seminar  MENGGALI KEKAYAAN TRADISI DOA – Salatiga 1975

Apa kiranya tempat pengalaman mistik dan doa mistik dalam hidup kristiani? Sebelum dapat menjawab atau membahas pertanyaan itu, di sini kiranya perlu dikatakan lebih dulu apa yang dimaksud dengan istilah ‘mistik’.Sebab kata itu sering dipakai dengan arti yang berbeda-beda.

PENGERTIAN TENTANG MISTIK

Seringkali mistik diartikan sebagai ‘penghayatan langsung dari kontak dengan Tuhan’. 1) Tetapi kalau perumusan ini ditinjau sedikit lebih mendalam, kiranya belum cukup mengungkapkan kekhususan pengalaman mistik. Sebab juga  iman adalah penghayatan langsung dari kontak dengan Tuhan. Sebab mulai dengan ajaran Vatikan II, khususnya Dei Verbum, iman tidak pertama-tama dilihat lagi sebagai ‘karunia adikodrati yang membuat kita menganggap benar segala sesuatu yang diwahyukan oleh Tuhan’ (Kat. 392). Walaupun iman tetap merupakan pengakuan terhadap wahyu Allah ‘namun pengakuan itu tidak pertama-tama dilihat sebagai suatu tindakan inteletual saja, melainkan seebagai hubungan pribadi manusia dengan Allah.

Pada pokoknya iman sama dengan kesatuan manusia dengan Allah. Dan hal itu sebenarnya sudah bukan sesuatu yang sangat baru. Sebab konsili di Trente melihat iman sebagai permulaan proses pembenaran: ‘iman adalah permulaan keselamatan, dasar dan akar segala pembenaran’ (DS 801/1532 lih. 798/1526, 800/1530). Iman sebagai awal keselamatan adalah permulaan dari kesatuan dengan Allah. Maka menghayati iman adalah penghayatan dari kontak dengan Tuhan.Dan penghayatan itu adalah penghayatan langsung, sebab – menurut Vatikan I – motif iman adalah Tuhan sendiri (DS 1798/3008) : orang berimanbukan karena suatu keyakinan yang datang dari luar, melainkan karena sadar bahwa berhadapan dengan Tuhan. Andaikata iman bukan penghayatan langsung dari kontak dengan Tuhan maka mustahil orang beriman. Iman tidak mempunyai dasar selain Allah sendiri yang mwahyukan diri kepada manusia. Dan oleh karena itu kiranya boleh dikatakan bahwa pada dasarnya iman dan wahyu menunjuk pada realita yang sama, yakni kesatuan manusia dengan Allah. Kalau kesatuan itu dilihat dari sudut Allah disebut ‘wahyu’; dan ‘wahyu’ selalu menjadi permulaan kontak itu, sebab inisiatifnya ada pada Allah melulu. Tetapi kesatuan itu baru menjadi kontak dengan sungguhsungguh, kalau manusia menaggapinya dalam iman.

Namun mistik bukanlah sama dengan pengalaman iman yang ‘biasa’. Tidak semua pengalaman iman dadpat disebut mistik. Mistik adalah penghayatan kesatuan dengan Allah yang khusus. Hanya janganlah kekhususan itu dicari diluar iman. Dalam hubungan dengan Tuhan bagi manusia hanya ada dua kemungkinan: atau kontak iman atau Visio beatific, di mana ‘kita akan melihat muka dengan muka’ (I Kor 13, 12). Yang terakhir disediakan bagi kita di sorga. Di dunia hanya ada hubungan iman. Maka juga mistik termasuk hubungan iman. Menurut Karl Rahner, tidak mungkin ‘an intermediate state which on the one hand transcendes the giving of grace to the Christian in the real sence of the word and on the other is not a (transient) participation in the beatific vision’ 2). Mistik bukanlah suatu hubungan khusus dengan Tuhan, melainkan penghayatan khusus dari hubungan iman.

PENGHAYATAN KHUSUS

Walter Hilton, seorang misticus dari abad ke 14, menyebut pengalaman itu ‘reform in faith and feeling’, dan bukan ‘reform in faith only’ 3). Yang khusus adalah ‘feeling’, perasaan; namun perasaan rohani. Mistik bukan soal perasaan melulu. MIstik adalah kontak pribadi dengan Allah. Mengenal Allah, tetapi dengan cara ‘intuisi sederhana’ kata st. Thomas Aquinas (STh II-2, q.180, a.3, ad 1m). Kekhususan terdapat dalam intuisi itu yang memang ada hubungannya dengan perasaan.Sebelum hal ini dibicarakan lebih lanjut, perlu ditegaskan lebih dahulu bahwa iman bukan suatu hubungan dengan Allah yang tidak ada sangkut-pautnya dengan hati dan budi manusia yang ‘biasa’. Memang iman adalah rahmat Allah. Tetapirahmat tidak berarti kegiatan kemampuan manusia diatas kehidupan insani. Rahmat berarti suatu diensi baru dalam pengetahuan dan cinta manusia,karena yang dihubungi adalah Allah sendiri. Tetapi manusia hanya mempunyai satu hati dan dengan hati itulah ia mencintai baik dunia maupun Allah. Secara teoretis dapat dibedakan antara pengetahuan Allah yang kodrati, dan pengetahuan  karena rahmat. Tetapi Allah ;menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran’ ( I Tim 2, 4). Maka kepada semua orang diberiNya rahmat. Bagaimana rahmat itu diberikan kepada orang bukan Kristiani, tidak diketahui, sebab Allah membimbing mereka kepada iman ‘dengan jalan-jalan yang hanya diketahui oleh Dia sendiri’ (Ad Gentes a. 7A). Tetapi dalam praktektidak usah membedakan antara pengetahuan kodrati saja dan pengenalan akan Allah karena rahmat. Rahmat berarti bahwa penetahuan itu adalah pengenlan: bukan hanya tahu mengenai Allah, tetapi sungguh mengenalNya secara pribadi karena hubungan pribadi. Rahmatbukan sarana atau alat; rahmat adalah Allah sendiri yang memberikan diri dalam kontak pribadi.

Dan dalam kontak pribadi itu juga manusia membeikan diri secara pribadi menurut cirri khasnya sebagai manusia. Ciei kahas manusia ialah bahwa segala pengetahuannya adalah konkrit. Namun justru pengetahuan yang konkret itu mengandaikan suatu ‘kerangka’ yang lebih luas. Saya tidak dapat melihat piring di atas meja, kalau tidak melihat meja; dan tidak melihat meja, kalau tidak melihat kamar/ dan kalau tidak melihat rumah. Rumah di lihat dalam kerangka jalan; jalan alam kota, kota dalam Negara, Negara dalam bumi.  Pendeknya: apa-apa saja yang ditangkap manusia, selalu dirangkum dalam pandangan yang lebih luas. Syarat mutlak untuk segala pengetahuan adalah keterbukaan hati dan budi yang ingin merangkum segala sesuatu. Keterbukaan itulah yang mendasari segala pengetahuan. Dan oleh karena rahmat Tuhan maka keterbukaan itu menjadi kerinduan dan dambaan manusia akan pertemuan dengan Allah. Bisa jadi bahwa kerinduan yang luas dan kterbuka itu, lebih mengesankan dirasakan daripada barang konkrit yang dihadapi orang. Kiranya itulah yang oleh St. Thomas Aquinas disebut pengetahuan dengan intuisi sederhana. Dan oleh karena intuisi ini tinggal samar-samar dan luas sekali, maka lebih serupa dengan peasan daripada dengan pengetahuan yang konkrit.mistik adalah pertemuan dengan Allah dalam keterbukaan hati ini.

ALLAH PENCIPTA DAN ALLAH PENYELAMAT

Kekhususan mistik ialah bahwa keterbukaan yang disebut di atas, kaalau terarahkan kepada allah, tidak tinggal kabur dan samar-samar melainkan menjadi konkrit sekali. Kekhususan pengalaman mistik ialah bahwa kehadiran Allah dirasakan secara nyata. Namun kendati segala peasaan kontak yang nyata dan dekat Tuhan tidak dapat digambarkan atau ditangkap. Dalam arti itu pengalaman mistik tinggal kabur dan tidak jelas. Oleh karena itu sulit sekali bagi para mistik menggambarkan pengalaman ini dengan jelas dan konkrit. Sungguhpun demkian mereka selalu menekankan pengalaman kehadiran Tuan yang amat nyata dan dekat. Mereka sungguh ‘melihat’ Tuhan, tetapi tidak dengan pancaindra dan juga tidak dengan gambaran budi yang biasanya dipakai dalam pengetahuan manusia. Mereka ‘melihat;, ‘mendengar’, ‘menyentuh’, dan ‘merasakan’, tetapi tidak dengan cara manusia yang biasa. Tidak dengan pancaindera dan tidak dengan gambaran, sebetulnya tidak dengan pengetahuan dan keinginan, melainkan dengan keterbukaan hati yang mendasari semua itu. Mereka merasa disentuh oleh Allah dalam pusat kepribadian mereka. Pengalaman ini jauh lebih mendalam daripada pengetahuan, dan sebaiknya disebut ‘pengenalan’ yang dapat dibandingkan dengan cara manusia mengenal manusia yang lain. Dalam hubungan dengan orang lain manusia juga ‘melihat’ dan ‘mendengar’ lebih daripada apa yang dapat ditankap oleh pancaindra. Ada perasaandan hubungan hati yang mendasari segala kontak yang terbatas, dan kalau mulai measa rindu, maka hubungan  hati yang mendasari segala kontak yang terbatas, dan kalau mulai measa rindu, maka hubungan hati itu dapat menjadi begitu nyata sehingga sungguh terasa kehadiran orang yang dicintai. Hal semacam ini (tetapi tentu saja tidak tepat sama) terjadi dalam hubungan mistik manusia dengan Allah: Yang menentukan adalah keterbukaan azasi yang mendasari segala pengetahuan yang terbatas.

Dalam pengalaman itu rupa-rupanya ddapat dibedakan dua macam pendekaan yang berbeda-beda. Ada orang mistik, seperti mis. Eckhart, yang menemukan Tuhan terutama sebagai dasa hidup mereka sendiri. Allah dihayati sebagai sumber hidup, dan ditemukan sebagai dasar yang paling mendalam dari jiwa sendiri. Allah hadir sebagai yang paling menddalam dari jiwa dirinya. Allah hadir sebagai yang paling immanen dalam orang mistik sendiri dan dialami sebagai daya kekuatan yang bersatu-padu dengan nahluk yang diciptakan olehNya. Dalam St. Yohanes dari Salib lebih kentara transendensi Allah, yang mendatangi dan merangkul jiwa orang mistik bagaikan seorang mempelai. Pengalaman  mistik itu sering digambarkan dengan gambar-gambar dari Madah Agung. Namun kedua pengalaman ini janganlah dipertentangkan, Allah Pencipta selalu dihayati sebagai Pribadi yang menanggung dan menjadga manusia dalam cintakasih. Sebaliknya Allah yang transenden, dalam kedekatan cintaNya, dialami sebagai daya kekuatan yang immanen juga, sehingga kedua pendektan ini saling melengkapi. Barangkali dapat dikatakan menekankan immanensi, sering sampai ungkapan yang bersifat panteistis atau monistis. Sebaliknya mistik kristiani dengan imannya akan kristus sebagai ‘pengantara antara Allah dan manusia’ lebih memperlihatkan sifat pribadi Allah, khususnya dalam hidup triniterNya. Tetapi Allah Penyelamat tidak dapat dihayati sebagai Allah, kalau tidak dikenal sebagai Sang Pencipta dalam pengalaman batin sendiri.

PERKEMBANGAN HIDUP DOA

Dalam teologi klasik dibedakan tiga tahap dalam hidup doa, khususnya dalam kontemplasi: ‘doa diskursif’ yang sering juga disebut ‘meditasi’, ‘doa afektif’ atau ‘kontemplasi], dan akhirnya ‘doa kesederhanaan’. Yang terakhir adalah bentuk doa yang sebetulnya tidak lain daripada pengalaman kehadiran Tuhan. Tetapi doa itupun masih belum merupakan tingkat yang tertinggi. Sebab di atas itu masih ada pengalaman kehadiran Tuhan yang disebut misti. Yang terakhir itu dipandang sebagai ‘doa luar biasa’ dan dibedakan dari yang ‘biasa’. 4)  Yang biasa dapat dilatih, yang lain tidak. Doa mistik adalah rahmat khusus dari Tuhan, yang diberikan menurut kebebasan Roh. Di sini perlu membuat sedikit catatan. Dalam arti tertentu tidak ada doa yang dapat dipelajari atau dilatih. Sebab doa sebagai kesatuan dengan Tuhan selalu berarti rahmat, yang harus datang dari Tuhan: ‘Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepadaKu, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa’ (Yoh 6: 44). Tetapi para teolog itu menuntut rahmat yang istimewa untuk doa kontemplasi yang disebut mistik, dan dasar tuntutan itu tidak terlalu jelas. KIranya harus dikatakan bahwa dalam perkembagan doa, khususnya dalam perkembagan kesatuan dengan Tuhan, dicapai suatu tahap kesatuan di mana terasa seolah-olah yang menentukan Tuhan saja. Atau lebih baik barangkali dikatan: dicapai fase di mana dirasa dengan jelas dan nyata bahwa dalam doa (sebenarnya dalam segala doa) yang menentukan ialah Tuhan. Dalam pengalaman mistik sifat rahmat doa secara jelas dan konkrit dialami dan dirasakan. Dari lain fihak keterangan orang mistik sendiri di sini tidak terlalu kuat, sebab karena sifat tak tertentu (sic. Tak selalu sama) dari pengalaman mistik sendiri, maka sulit dianalisa dan disebut ciri-ciri khasnya.

GEJALA-GEJALA HIDUP MISTIK

Oleh karena kekhususan hidup dan doa mistik tidak harus dicari dalam rahmat yang khusus, maka gejala-gejalanya cukup penting guna menentukan adanya pengalaman doa yang istimewa ini. Dalam hal ini tentu saja psikologi yang mengamati gejal-gejala itu lebih bermuara daripada teologi. Cukup terkenal adalah empat gejala dari William James, yakni: 1. ‘ineffability’: pengalaman ini tidak dapat dirumuskan; 2. ‘neotic’: mistik member suatu pengertian dan pengetahuan yang baru; 3. ‘tranciency’ : tidak tetap, dan 4. ‘passivity’ : mistik berarti penyerahan cinta ke dalam tangan Tuhan.   5)

Yang pertama dan kedua juga disebut oleh clare Myers Owens, tetapi ditambah: a( ‘imperceptivity’: karena konsentrasi pada pengalaman batin, maka hidup orang mistik seolah-olah lepas dari pancaindera; b) ‘renunciation’: karena mengalami kehadiran Tuhan sendiri, segala yang lain kehilangan arti dan nilainya ;aku akan melepaskan semuanya dan menganggapnya sampah, supaya aku memperolah Kristus; (Filipi 3, 8); e: ‘ecstasy’: menyerahkan diri secara total ke dalam hidup baru; dan d) ‘fusion’: tidak lagi terasa perbedaan dengan Nan Transenden.  6)

Sulit sekali untuk mensitensekan segala gejala itu. Tetapi barangkali dapat dikatakan bahwa semua gejala itu memperlihatkan bahwa dalam pengalaman mistik orang secara total dan luar biasa memasukui diri sendiri seolah-oleh ‘tenggelam ke dalam sumber hidupnya sendiri yang amat dalam’. Karl Rahner menyebutnya ‘a return to oneself’, ‘personal depth’. 7)   Dalam pengalaman mistik orang sungguh menyentuh inti pribadinya sendiri, dan di dalam pusat itu ia bertemu dengan Tuhan, yang adalah sekaligus transendensi mutlak dan immanensi total. Pengalaman dari kesatuan total dengan Allahyang transenden itu tampak menjadi gejala khusus dari mistik kristiani. Karena mistik kristiani selalu berpangkal pada iman akan karya keselamatan Tuhan dalam Yesus Kristus, maka pengalaman diri tidak pernah menghilang seluruhnya ke dalam realita yang transenden. Orang kristiani yang mistikus selalu sadar bahwa Allah mendatanginya dalam PuteraNYa dan oleh Roh Kudus.

HIDUP KRISTIANI DAN MISTIK

Dengan demikian akhirnya kita kembali kepada pertanyaan semua: dimana tempat mistik dalam hidup kristiani? Kalau Paulus berkata kepada orang Kolose, bahwa ‘seluruh kepenuhan keAllahan berdiam dalam Kristus secara badaniah’ (Kol 2: 9), maka ia mau menegaskan kiranya bahwa keselamatan dan hidup Allah tidak harus dicari di luar hidup manusia yang nyata dan biasa. Pengalaman mistik sebagai pengalaman yang luar biasa tidak dapat menjadi tujuan hidup kristiani. Tetapi dari lain fihak,pengalaman mistik sebagai suatu fase dalam perkembangan hidup doa, kiranya selalu harus diterima dan diakui sebagai rahmat doa sendiri. Dan oleh karena kita ‘harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu’ (Lukas 18: 1) maka juga doa mistik harus diterima sebagai realita hidup kristiani yang dapat membawa orang kepada kesatuan yang lebih nyata dengan Tuhan.

T. Jacobs
G. Scheltinga


CATATAN:

1)      Dick Hartoko, Sekelumit mistik dari dunia Barat, Rohani 21 (1974) hlm 188 – 197
2)      Karl Rahner, dalam Encylopedia of Theology. A concise Sacramentum Mundi, Burns and Oates 1975, hlm 1010
3)      Dikutip dari Paul Mommaers, Waar naartoe is nu de gloed van lierde?, Patmon, 1973, hlm 18
4)      Mis. Rene de Maumigny, Praktique de I’oraison mentale, Beachesne, I, Oraison ordinare, 1922, jl II, Oraison estraordinaire, 1934
5)      Lih. W. Johnston Defining mysticism: Suggestion from Christian encounter with Zen, Teol stud 28 (1967) 94 – 100, 106 – 7, G.A. Malone, Mystical experience, The Way 17 (1977) 256 – 266, 258
6)      G.A. Maloney, a.c. hlm 259 – 260
7)      Karl Rahner, encyclopedia of Theology, hlm 1011