Sebuah refleksi dan pendalaman hidup religious
Pendiri Kongregasi Bruder Karitas (FC)
Allah Menyejarah
Bersama Masyarakat
Br. René Stockman, FC
Penterjemah: Br. Adrian FC
Penterjemah: Br. Adrian FC
2002
(c) Hak Cipta ada pada Br. Rene Stockman FC
1. Allah menyejarah bersama masyarakat, juga bersamaku ?
“Karena pembaktian diri kepada Tuhan kita merasul dengan semangat dan berani. Berkat kaul kemurnian kita lebih sedia untuk mengabdi sesama. Kemiskinan memampukan kita untuk memberikan seluruh tenaga, waktu dan bakat pembawaan kita.” (Konst. N° 63)
Dalam setiap situasi kita harus melihat kehendak Allah!
“Dalam kisah hidup dan perkembangan kita tidak berperan sendiri saja. Eksistensi atau keberadaan kita kita terima dari orang lain. Cinta kasih mereka menjadi daya dorong untuk semakin memekarkan kepribadian kita. Cinta kasihlah yang menjadi sumber daya hidup dan harga diri. Dengan membuka diri terhadap cinta itu kita kian lama makin mampu berpartisipasi dalam hidup orang lain. Berarti bahwa kita pun berperan dalam hidup mereka, bahkan menjadi penopang bagi mereka.” (Konst. N° 3)
- Kedudukan sesama dalam perkembangan hidup kita.
- Allah bekerja melalui orang-orang dan situasi-situasi.
1.1. Kita merupakan satu mata rantai.
“Dalam kisah hidup dan perkembangan kita tidak berperan sendiri saja”; dalam sejarah hidup kita, kita tidak sendiri. Dari hari ke hari kita hidup pada perbatasan antara masa lalu dan masa depan. Kita memiliki sejarah kita sendiri. Sangatlah baik jika kita kadang kala meninjau kembali sejarah hidup kita:
- dimana kita hidup?
- siapakah keluarga kita?
- dalam jaman apakah kita hidup?
- tarekat yang makin hari makin menjadi tarekat kita
- rumah tempat kita hidup
- karya kerasulan yang kita laksanakan
- ada juga gereja, gereja kita, dan keyakinan kita
- spiritualitas kita
- pribadi-pribadi yang berpengaruh dalam hidup kita, yang mengilhami kita.
Semuanya ini menentukan masa hidup kita sekarang ini dan masa depan kita; kita terus-menerus membangun rumah kehidupan kita! Dan kita menyejarah: sejarah kita sendiri dan sumbangsih kita dalam sejarah sesama. Kita sungguh menjadi suatu mata rantai, dan ini merupakan bagian yang tak terpisahkan. Dalam realitas inilah Allah menelusuri jalanNya bersama umat manusia, juga bersama Anda dan saya. Kita harus pergi dan mengikuti jalan itu: dengan penuh iman, keyakinan, keberanian, penuh prakarsa, secara aktif, terbuka bagi tantangan-tantangan yang mendatangi kita. Kita harus tahu bahwa benang merah dalam hidup kita hanya dapat kita lihat di kemudian hari! Seseorang pernah berkata kepada saya bahwa Allah telah membentangkan permadani merah untukmu. Ya, saya harus mengikuti permadani ini, tidak mengikuti jalanku sendiri, tetapi untuk mengikutinya dengan penuh keyakinan dan iman.
Sekarang apa yang begitu istimewa dalam sejarah umat manusia?
- Manusia berpusing-pusing memikirkan persoalan hidupnya, tetapi Tuhanlah yang pada akhirnya mengambil keputusan.
- Tuhan menuliskan garis-garis lurus dan lengkung.
- Tampaknya Tuhan selalu satu langkah lebih maju dengan rahmatNya.
Saya ingin memberikan gambaran tentang tiga tesis dari sejarah tarekat kita, riwayat hidup St. Vinsensius dan Rama Triest.
1.2. Manusia berpusing-pusing memikirkan persoalan hidupnya, tetapi Tuhanlah yang pada akhirnya mengambil keputusan.
Pada tahun 1600 Vinsensius Paulo, seorang imam, bermaksud untuk melarikan diri dari kemiskinan, dia ingin berkarir. Tetapi berkat kegagalan dalam hidupnya dan konfrontasi baik dengan kemiskinan materi dan rohani, maka sepuluh tahun kemudian ia memulai hidup baru sama sekali.
Orang yang tepat memasuki hidupmu pada saat yang tepat untuk menjadi sesama musafir. Contohnya dalam hidup St. Vinsensius ialah De Bérulle dan Fransiskus Sales yang telah memberi dia suatu visi baru tentang kesucian; juga Margareta Naseau, suster Puteri Kasih yang pertama; Louise de Marillac yang memahami dia, juga Antonius Portail, Rama Lazaris pertama; bahkan Kardinal Richelieu, yang memberinya suatu tugas baru. Dalam hidup Rama Triest, contohnya ialah: Ibu Plasida Van der Gauwen, yang pertama kali disingkirkan oleh suster-susternya; Br. Bernard de Noter, penolong dalam keadaan sulit; Dr. Guislain yang memiliki warna khas sesuai dengan spiritualitas kita (dia melengkapi kasih dengan keahliannya)
Hal-hal yang terjadi secara kebetulan dan menjadi momen-momen penting dari Penyelenggaraan Ilahi dalam hidup Rm. Triest, contohnya: kenyataan bahwa Suster-suster Karitas ditolak oleh Suster-suster Puteri Kasih sehingga Triest harus melanjutkan dan mengembangkan tarekatnya sendiri, hal ini juga mempengaruhinya untuk merintis tiga tarekat religius lainnya; kedatangannya di Ghent telah membuka cakrawala baru dalam hidupnya (pentinglah bagi kita untuk meninggalkan tempat-tempat yang kita kenal; kita harus membebaskan banyak hal; membuka tangan kita untuk menyediakan tempat bagi hal-hal baru dalam hidup ini); situasi-situasi politik dan kesulitan-kesulitannya merupakan awal berdirinya tarekat-tarekat baru, yakni Bruder-bruder Yohanes de Deo dan Suster-suster Kanak-kanak Yesus. Saat kebutuhan meningkat sangat tinggi, penyelamatan menjadi sangatlah dekat. Kita tahu bahwa dari awal-mula tarekat kita hingga berdirinya Tarekat Suster-suster Kanak-kanak Yesus terbuktilah “Allah akan menyelenggarakan segala-galanya!”
Renungkanlah hidup Anda sendiri.
1.3. Allah meluruskan garis-garis yang bengkok.
Situasi Rama Triest: Masalah di Ronse membawa Triest ke Lovendegem. Ini menjadi awal hidup yang sama sekali baru baginya. Suatu kegagalan menjadi momen rahmat (namun ia baru dapat melihat dan menghargainya kemudian). Awal berdirinya Bruder Karitas yang sempat gagal dua kali, akhirnya menjadi suatu keberhasilan!
Situasi dalam Tarekat sendiri: kisah tentang misi di Jepang yang dimulai sebagai suatu akibat dari kesalahan dalam pengiriman surat. Surat yang ditujukan ke India ternyata tiba di Jepang. Bruder-bruder pertama di Jepang: satu orang meninggal karena kecelakaan, dua bruder lainnya meninggalkan Tarekat, namun akhirnya Jepang menjadi awal mula didirikannya komunitas-komunitas lain di Asia (kecuali Indonesia yang telah berdiri jauh lebih dahulu). Kisah dirintisnya misi di Bukavu dan Kigoma yang disebabkan karena pembunuhan massal di Rwanda sehingga para bruder tiba di kedua wilayah itu, dan sekarang terbukalah panggilan-panggilan baru di Afrika.
Banyak dari prakarsa-prakarsa dan lembaga-lembaga baru ternyata tidak berkembang sendiri sejalan dengan apa yang telah kita perkirakan sebelumnya, contohnya: Ronse, Ukraina, China, Taiwan, Mongolia, dll. Namun mereka menyadari diri bersama masyarakat yang berkekurangan dan dengan pelbagai pertentangan yang tidak kita bayangkan sebelumnya.
Renungkanlah riwayat hidup Anda sendiri!
1.4. Tuhan tampaknya selalu selangkah lebih maju dengan rahmatNya.
Kita harus mengantisipasi rahmatnya dengan kreativitas, inventif, bersemangat, penuh iman dan keyakinan. Rama Triest berkata: “Telah sejak lama aku merasakan dalam diriku adanya hasrat yang kuat: Aku telah menyaksikan kezaliman, namun aku tidak mampu bereaksi terhadapnya.” Pada masa itu Triest hidup sebagai imam secara sembunyi-sembunyi: dia hanya dapat memberikan tanda-tanda kecil dari kebaikan hatinya! Tetapi Tuhan telah menyiapkan dia untuk melakukan karya-karya besar. Rahmat Tuhan memberi dia kekuatan istimewa untuk berani melayani isteri brigadir yang sedang sekarat dengan sakramen terakhir sebagaimana ia ungkapkan dalam khotbahnya yang pertama, yakni sbb. “Aku telah memaafkan semua musuhku. Panggillah aku tatkala kalian membutuhkanku, baik pagi maupun malam hari, karena aku bersedia bahkan untuk menyerahkan hidupku bagi kalian.”
Ketika Triest tiba di Lovendegem, ia membuat suatu analisis yang cukup tajam tentang situasi setempat: Tiga dosa utama di sana ialah kemabokan, penghujatan, dan ketidakmurnian. Begitu pula dengan situasi jaman sekarang ini: kecanduan, tak ada lagi tempat bagi Tuhan, dan revolusi seksual. Setelah melakukan analisa tsb. Triest benar-benar siap untuk mulai karyanya. Rahmat melaksanakan karyanya, telah mempersiapkannya secara khusus. Dia menerima kekuatan untuk melangkah sangat jauh mulai dari sekarang ini, tanpa batas! Melalui situasinya, ia mengembangkan spiritualitas yang khusus: mulai dari kasih (kasih memberikan kekuatan yang tak dapat diberikan oleh alam); rasa hormat dan belaskasihan (misalnya, di Puri Setan Gerardus dengan kasih yang tak bersyarat). Lalu ia memperbaiki lingkungan material (Panti Sosial Aleksian); dengan kompetensi (Dr. Guislain); dalam struktur dan organisasi yang bagus (Aturan Pertama – Konstitusi).
Dia dengan sangat baik mengungkapkan kepeduliannya sebagai buah dari antisipasinya terhadap rahmat dalam suratnya pada tahun 1826: “... Tanpa prasangka aku boleh mengulangi kata-kata Kitab Suci: kalian bagaikan Tuhan sendiri di bumi ini. Memang kalian merupakan Penyelenggaraan Ilahi karena kalian memberi makan kaum miskin Yesus Kristus, kalian menurunkan manna ke atas mereka yang lapar, kalian menyegarkan mereka yang haus. Kalian tahu akan kesedihan kaum malang, miskin dan sakit yang sama sekali tak pernah menikmati hari yang menyenangkan, dan bagi siapa matahari tak lagi bersinar; bumi menghasilkan bunga-bunga untuk kaum kaya dan semak belukar untuk kaum miskin; kaum malang yang karena kekurangan segalanya lebih menyerupai orang mati daripada orang hidup. Dengan memberikan pakaian kepada mereka itu, obat-batan untuk mengobati atau sekurang-kurangnya meringankan penyakit mereka; memberi mereka tempat tidur dan menyiapkannya dengan baik bagi badan mereka yang terluka dan sakit; merawat luka-luka mereka yang kotor dan menjijikkan guna memulihkan mereka, bukankah itu bak menciptakan matahari dan bumi baru bagi mereka? Bukankah itu membangkitkan mereka dan menyelamatkan mereka dari cengkeraman maut?” (Surat Tahun Baru kepada Para Suster Karitas, 30 Desember 1828).
Bagaimana dengan kita sendiri: Apakah kita yakin bahwa kita menerima rahmat dan daya yang diperlukan untuk melaksanakan karya, untuk memenuhi misi panggilan kita? Tanpa misi berarti tak ada panggilan. Tanpa panggilan berarti tiada rahmat khusus.
1.5. Ajakan untuk menuliskan riwayat hidup Anda sendiri.
Juga dalam hidup kita, kita menjumpai benang merah itu; yakni Tuhan melangkah seiring sejalan dengan kita, dengan saya. Pentinglah kita berusaha melihat riwayat ini dengan mata penuh iman. Sayalah orangnya, berkat bantuan orang-orang dan berkat situasi-situasi yang telah saya lalui. Inilah jalanku, inilah waktuku. Aku harus bersyukur untuknya, dan harus penuh dengan keyakinan bahwa aku harus terus mengikuti jalan ini, dan bahwa adalah baik dengan syarat aku membiarkan Allah berkarya dalam hidupku. Kita adalah alat-alat dalam tanganNya. Jadilah demikian!
Meditasi:
Buatlah suatu tinjauan tentang hidup Anda dengan menggunakan ketiga topik dari konferensi ini; yakni:
1. Manusia mempertimbangkan persoalannya dalam benaknya, namun Tuhanlah yang pada akhirnya menentukan keputusannya;
2. Tuhan meluruskan garis-garis yang bengkok.
3. Tampaknya Tuhan selalu selangkah lebih maju dengan rahmatNya.
2. Hidupku: mulai dari penerimaan diri melalui cinta kasih
hingga analisis diri
“Seperti setiap orang mengalami, kita pun sering bertanya diri, apa arti dan makna hidup ini. Saya hidup untuk apa? Kita merasa bimbang, mau memperoleh kepastian. Namun lalu ternyata bahwa pengalaman kita takkan pernah dapat dijelaskan sepenuh-penuhnya. Hidup manusia sebagian besar diliputi misteri. Malahan pertanyaan paling wajar tentang perilaku dan sikap kita pun takkan pernah mendapat jawaban yang terang.” (Konstitusi – N° 2).
“Sebab bukan apa yang kukehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat.” (Rom 7:19)
Kehidupan kita benar-benar terselubung misteri. Begitu kita mengira kalau kita mengenal diri kita sendiri, kita mengejutkan diri sendiri dan harus berkesimpulan bahwa hidup kita, hal-hal yang sangat mendorong diri kita tetaplah misterius. Lagipula kita diajak untuk mengenal banyak hal baru tentang diri kita sendiri. Karena dalam diri kitalah Tuhan ingin mendekati kita dengan kasihNya. Tidak dalam dunia dan hidup khayal kita. Tidak melulu dalam sisi kebaikan realitas diri kita, tetapi dalam realitas kita seutuhnya. Sebagaimana halnya dengan Kristus, yang turun ke dunia untuk hidup di antara kita sebagai manusia, Tuhan ingin bersemayam dalam hidup kita. Kita diajak untuk menyiapkan kedatangan Tuhan dalam tiga fase tersendiri, yakni:
1. Kita harus mengenal diri kita sendiri, belajar menerima diri sendiri, dan belajar mengasihi diri kita sendiri;
2. Dengan penuh kasih, kita harus belajar menangani segala sesuatu yang menyebabkan kita menyimpang dari jalan kebenaran, atau dengan kata lain, yang menyebabkan kita tersesat dari “hidup riil.”
3. Dengan menghayati hidup asketis, kita harus melarang apapun yang menghalangi pengorbanan diri kita seutuhnya agar dapat secara total menerima kebaikan, dan menumbuhkan serta mengembangkannya dalam diri kita sendiri.
Marilah sekarang kita menguraikan ketiga fase ini.
2.1. Kita harus mengenal diri kita sendiri, belajar menerima diri sendiri, dan belajar mengasihi diri kita sendiri
Salah satu langkah yang penting ialah mengerahkan semangat apapun yang dibutuhkan untuk menghadapi realitas bahwa kita adalah diri kita sendiri. Mudah sekali kita menciptakan gambaran realitas yang keliru yang kita buat untuk diri kita sendiri. Diperlukan keberanian besar untuk menelanjangi diri kita sendiri hingga kita mengetahui esensi diri kita yang terhakiki, menghadapi kodrat sejati iri kita sendiri, dan untuk berhenti melaksanakan apapun yang membuat kita melarikan diri dari kebenaran tentang diri kita sendiri yang sering membuat kita takut untuk menghadapinya. Contohnya: Zakeus, si cebol, yang memanjat pohon agar tampak lebih jangkung. Tetapi Yesus menyuruh dia turun, untuk menjadi dirinya sendiri lagi, dan mendorong Zakeus untuk mengundangNya singgah di rumahnya. Yesus menolak untuk ditarik ke dalam dunia fiktif, dia ingin menetap dengan berakar secara teguh dalam realitas. Contohnya: Yesus berurusan dengan Ahli-ahli Taurat yang mengenakan perlengkapan pakaian doa agar orang-orang mengetahui betapa seringnya dan khusuknya mereka berdoa. “Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (Mat 6:6). Masuklah ke dalam kamar pribadimu. Jadilah dirimu sendiri. Seperti apakah kamar pribadiku itu?
Dalam Mazmur 139, pemazmur berdoa sbb.: “Tuhan, Engkau menyelidiki dan mengenal aku; engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri; Engkau mengerti pikiranku dari jauh. Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalanku Kaumaklumi.” (Mzm 139:1-3). Disini pesannya ialah: Datanglah pada dirimu sendiri! Mazmur 73 menggambarkan manusia sebagai mahluk yang angkuh, yang tak henti-hentinya membual tentang diri sendiri. Bahkan pada jaman itupun bumi ini tampaknya sudah penuh dengan orang-orang semacam itu. Bertentangan dengan mereka, kita menjumpai mereka yang tidak hidup dalam khayalan. “Seperti mimpi pada waktu terbangun, ya Tuhan, pada waktu terjaga, rupa mereka Kaupandang hina.” (Mzm 73:20).
Begitu kita menemukan diri kita yang sejati, kita berhadapan dengan tantangan penerimaan diri, yakni: menerima diri kita sebagaimana adanya. Ada begitu banyak orang yang mengalami banyak kesulitan menerima realitas bahwa mereka adalah diri mereka sendiri. Ada banyak rasa tidak bahagia yang berkaitan dengan kurangnya penerimaan diri sendiri. Jika kita mengolah diri kita sendiri dalam fase kedua, maka kita pertama-tama harus menerima diri sendiri sebagaimana adanya, yakni menerima banyak kebaikan dalam diri kita; dan menerima banyak keburukan dalam diri kita. Pada kenyataannya kita menerima bahwa sebagai manusia kita mampu baik memperbaiki maupun merusak alam raya kita. “Tiada hal manusiawi yang tidak kita kenal.” Hanya mereka yang telah menerima diri yang sesungguhnya dapat mengasihi diri mereka sendiri dan konsekuensi memenuhi perintah kasih yang menyebutkan bahwa kita harus mengasihi diri kita sendiri. Penerimaan itu dan kasih akan keadaan kita sebenarnya, yakni keadaan sebagaimana diciptakan oleh Tuhan, dan yang diberi kebebasan untuk mengikuti jejak kebenaran tetapi juga untuk menyimpang dari jalan itu, dari jalan yang menuju kepada Tuhan, tidaklah berarti bahwa kita tidak harus mengolah diri kita sendiri, dan berusaha untuk memfokuskan diri guna melaksanakan hal-hal yang baik.
Kita harus selalu mengingat apa yang dikatakan oleh St. Paulus dalam konteks ini:
“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rom 12:2).
“Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih” (Gal 5:13).
Fase pertama yakni mengenali diri sendiri, menerima diri sendiri sebagaimana adanya, mengasihi diri sendiri barulah merupakan fase pertama, namun juga ini merupakan fase yang diperlukan yang tak dapat dihindari.
2.2. Dengan penuh kasih kita harus belajar menangani pelbagai hal yang membuat kita menyimpang dari jalan kebenaran, dengan kata lain, hal-hal yang membuat kita kehilangan jejak menuju “hidup yang nyata”.
Dengan mempelajari diri kita yang terdalam, dan dengan demikian juga memperoleh pengetahuan diri, kita dihadapkan pada ciri-ciri negatif dari kepribadian kita sendiri, dan ini dapat menjadi suatu konfrontasi yang agak menyakitkan. Ada pelbagai cara untuk menangani ciri-ciri negatif tsb., untuk menangani keburukan dalam diri kita:
· Kita dapat mengabaikannya, menutup mata kita dan berpura-pura seakan-akan hal-hal tsb. tidak ada. Namun, berkali-kali terpaksa kita harus membuka mata kita karena keburukan itu ada di sana, dan ingin menguasai diri kita, ingin memiliki kita.
· Kita dapat menjadi takut sebagai akibat penemuan kita, dan mulai mencoba dengan dan menggunakan pelbagai cara untuk menutup-nutupi dan menyembunyikan apa yang baru saja kita temukan.
Namun pada kasus yang disebutkan terakhir itu kita dapat menjadi tiruan yang persis sama dengan orang yang ketakutan yang berpikir sebaiknya menguburkan talentanya dalam tanah untuk mencegah terjadinya suatu kesalahan. Banyak di antara kaum perfeksionis berbuat seperti itu: Mereka menggunakan segala macam teknik untuk berusaha mengontrol kekacauan yang mereka dapatkan dalam diri mereka sendiri. Mereka sangat memerlukan diri mereka sendiri, mereka hidup keras tetapi jauh dari kebahagiaan karena mereka terus-menerus merasa tegang dan khawatir kalau-kalau sistim mereka akan gagal. Orang-orang ini, yakni mereka yang dikenal sebagai kaum perfeksionis, tidak dapat sungguh-sungguh hidup, karena mereka adalah korban dari sistim ciptaan mereka sendiri, dari prinsip-prinsip, dan dari segala kontrak batin yang merupakan hasil dari diskusi-diskusi batin, seperti “Jika aku berdoa, aku akan terluput dari segala sesuatu; jika aku tidak makan daging, aku takkan terkena kanker; kalau aku rajin jogging, aku takkan mendapatkan serangan jantung; ... dll. ” Pada kasus-kasus tsb., orang mengenakan suatu hukum pada diri mereka sendiri, mereka memasang kuk pada diri mereka sendiri. Inilah yang ditentang oleh St. Paulus: “Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan” (Gal 5:1).
Adalah suatu khayalan jika kita berpikir bahwa kita dapat mewujudkan keadilan sendiri. Seorang perfeksionis tak lain tak bukan ialah orang yang sangat angkuh. Sekali lagi St. Paulus berkata: “... bukan karena kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan” (Fil 3:9). Teks ini jelaslah berbicara tentang Hukum yang kita kenakan pada diri kita sendiri: kecenderungan untuk berharap dapat mengontrol diri sendiri sepenuhnya, untuk dapat berjuang melawan kejahatan dari kebaikan dan tekad yang sebenarnya. “Bukankah telah kukatakan kepadamu bahwa aku akan berhasil? Aku jelas jauh lebih baik daripada orang lain...”
Jörg Zink dengan sangat tepat menguraikan tulisan St. Paulus (Rom 8:14) demikian: “Mereka yang taat mengikuti Roh Allah, dan membiarkan Dia menjadi pembimbing mereka, adalah anak-anak Allah yang sejati. Anda tidak boleh terus-menerus hidup dalam ketakutan, dan Anda tidak boleh takut kehilangan jejak Roh Kudus atau gagal di mata Tuhan. Anda bukanlah buruh harian yang dinilai berdasarkan hasil kerja mereka. Terlalu sering hasil tsb. ialah apa yang difokuskan oleh orang pada saat mereka memeriksa batin.” Kita tidak harus menguji diri terus-menerus. Tuhan tidak menuntutnya. Dia ingin kita menghayati hidup kita sepenuhnya sehingga kita dapat bertumbuh menjadi manusia riil dalam jaman kita sendiri. Kaum perfeksionis berpikir dan berjuang untuk mendapatkan suatu tempo yang sempurna. Dan, mungkin juga, tempo itu berbeda dari yang dikehendaki dan diharapkan oleh Tuhan. Beberapa orang menangani keburukan dalam diri mereka dengan sangat agresif. Mereka memasuki suatu pergulatan melawan keburukan. Cara mereka menangani diri mereka sendiri menjadi makin keras. Dengan setiap kesalahan yang mereka lakukan, mereka menjadi makin marah terhadap diri mereka sendiri dan mulai mempersalahkan diri sendiri. Hidup mereka menjadi semakin tegang, dan pada akhirnya mengakibatkan kelelahan saraf. Banyak keluhan neurotis dan psikosomatis merupakan akibat dari kecenderungan orang yang bersikap agresif tanpa belas kasihan terhadap diri sendiri.
Psikolog terkenal, Jung, telah mempelajari kompleks rasa bersalah secara sangat teliti. Ia menyebutnya sebagai “suatu penyakit yang mengubah manusia menjadi mahluk tersiksa, yang tercekik oleh rasa bersalahnya sendiri.” Banyak tipe asketisme yang kemudian dipandang sebagai tindakan menghukum diri sendiri, sebagai penitensi yang harus dibayar karena kesalahan sendiri. Tetapi apakah orang mengira bahwa ini merupakan kehendak Tuhan agar mereka menebus dosa sendiri? Tidakkah mereka mengira bahwa mereka menghukum Tuhan, dan tidakkah mereka berperan dalam menghukum Tuhan sendiri, dengan mengabaikan kenyataan bahwa Allah itu terutama maha pengasih?
Perhatian dicurahkan pada perjuangan melawan keburukan, dan segala upacara keagamaan disiapkan untuk perjuangan tsb. Sementara orang lupa untuk menyediakan kesempatan bagi kebaikan untuk berkuasa. Sesungguhnya kita harus memikirkan bahwa sikap dasar Tuhan tertuju pada pendosa sebagaimana dijelaskan oleh Yesus sendiri. Ini merupakan sikap mendasar dari belas kasihan. Bahkan Perintah Allah tidak disampaikan kepada manusia untuk membatasi kebebasannya. Tidak, perintah-perintah itu diberikan kepada manusia sebagai tanda-tanda jalan di sepanjang jalur kehidupan yang menunjukkan arah mana yang harus diikuti agar dapat mencapai suatu kehidupan yang baik sepenuhnya, suatu kehidupan yang terdiri dari kebaikan, keindahan, dan kebenaran.
St. Paulus secara jelas mengungkapkan demikian: “... mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya” (Ef 4:24). Jadi Anda menjadi pribadi yang diciptakan oleh Tuhan dalam diri Anda, dan yang diperbaharui oleh Yesus dalam diri Anda melalui kebangkitanNya. “Akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu” (Fil 4,8).
Kita harus melakukan segala sesuatu yang sejalan dengan realisasi umat manusia. Kita harus membatasi diri dari segala sesuatu yang berlawanan dengan realisasi tsb. sedemikian rupa sehingga kita dapat mengembangkan semua tenaga kita dalam mewujudkan apa yang baik. Kita harus menjadi lebih berbelaskasihan terhadap keburukan, dalam kaitannya dengan ciri-ciri negatif kepribadian kita, sebagaimana Tuhan juga berbelaskasihan terhadap para pendosa dan pemungut cukai. Saya harus belajar berbelaskasih terhadap pendosa dan pemungut cukai yang hidup dalam diriku sendiri.
Kita harus belajar mengolah rasa bersalah kita. Kita harus belajar untuk berani berkata: “Ini salah karena bertentangan dengan realisasi diriku sendiri sebagai manusia, dengan realisasi tentang apa yang baik, indah dan benar dalam diriku.” Saya menyesal dan minta ampun kepada Tuhan: “Kasihanilah saya, seorang pendosa.” Namun kita harus belajar mengungkapkan rasa bersalah ini. Jika Tuhan telah mengampuni saya, sebagaimana dilakukanNya selalu setiap saya mengakui kesalahan saya, saya harus belajar untuk memaafkan diri sendiri juga. Saya tidak boleh mengakhiri hidup saya dengan selalu menekankan kesalahan saya, dengan mencambuki diri saya sendiri, dengan menyiksa diri sendiri dan dengan memusnahkan diri sendiri dalam ketakutan.
Apa lagi yang kiranya ingin dikatakan oleh St. Paulus ketika ia menyampaikan kata-kata sbb.: “Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat!” (II Kor 12:9-10). Memang jika kita lemah, jika kita telah berdosa, maka kita mengalami kebesaran, pengampunan, dan belas kasih Tuhan secara pribadi. Dalam hal ini, kita dapat belajar dari Br. Laurent O.Carm. (1608-1691): “Jika aku melakukan kesalahan-kesalahan, tak lain aku mengaku kepada mereka, dan berkata kepada Tuhan: ‘Aku takkan pernah berbuat lain hal jika Engkau meninggalkanku sendiri. Engkau sendiri dapat mencegah aku dari kejatuhan, dan Engkau sendiri dapat mengubah apa yang perlu diubah.’ Lalu aku takkan lagi khawatir tentang kesalahan-kesalahan yang telah aku lakukan.”
Janganlah lupa akan Sabda Yesus: “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati” (Luk 6:36). “Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan” (Mat 9:13), yang merupakan adaptasi dari kitab Hosea (6:6). Ini juga berkaitan dengan perlakuan kita terhadap diri sendiri: Yesus tidak menghendaki kita mengorbankan diri di atas mezbah sebagaimana diwajibkan oleh Hukum Taurat (Kuk Hukum) atau menghancurkan diri sendiri untuk menyenangkan Tuhan (agresi, ketakutan). Mengenai hal itu, Anselmus Grün meyatakan sbb.: “Terkadang kita bahkan mempersalahkan ciri-ciri kesucian kepribadian kita sendiri karena bertentangan dengan tolok ukur yang kita rumuskan dan ciptakan sendiri (suatu dampak dari keangkuhan kita – ingin menjadi lebih baik daripada orang lain). Kita jauh lebih tidak toleran dan kejam terhadap diri sendiri dibandingkan dengan Tuhan yang justru terutama sekali ingin menunjukkan kebaikanNya kepada kita. Kita bersembunyi dalam super-ego kita, sebagai hakim kejam yang mempersalahkan kita, dan seorang Farisi yang menolak hak hidup kita.” Pada kenyataannya ini semua berkenaan dengan perdamaian bersama musuh kita sehingga enersi musuh kita (sisi jahat kepribadian kita) dapat digunakan untuk tujuan baru yang positif. Hal ini sama sekali tidak sama dengan menyerah terhadap keburukan, melainkan menggunakan enersi sisi keburukan kepribadian seseorang secara berbeda dan lebih positif. Ini semua mengantar kita pada fase ketiga dan terakhir.
2.3 – Dengan menghayati hidup asketis, kita harus mengatasi kendala korban diri kita seutuhnya agar kita dapat menerima kebaikan sepenuhnya dan menumbuhkan serta mengembangkannya.
Kita harus menemukan apa panggilan hidup sejati kita, serta jalan yang harus kita tempuh demi kemuliaan Tuhan. Apa yang didambakan oleh Tuhan tentang hidupku, dan bagaimana aku dapat mewujudkan harapan tsb. Ulah tapa atau asketisme sebenarnya merupakan latihan yang membantu kita menemukan kehendak Tuhan tentang diri kita masing-masing. Tujuannya ialah merangsang hal-hal positif kepribadian seseorang dan menyingkirkan hal-hal yang negatif.
Dalam perjuangan kita demi kebahagiaan yang nyata, untuk menjadi manusia-manusia yang nyata, kita memenuhi diri dengan hal-hal yang memang mengisi namun tidak memenuhi kita. Hal-hal tsb. menjadi pengisi, berat mati, dan harus disingkirkan, jika kita ingin membiarkan diri terpenuhi oleh kebaikan, kebahagiaan sejati, dan hal-hal yang membantu kita mewujudkan harapan Tuhan tentang diri kita sendiri.
Tepat sekali perkataan St. Paulus sbb.: “Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih. [...] Hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. [...] Tetapi buah Roh ialah: kasih, suka cita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. [...] Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya” (Gal 5:13-24).
Seluruh pesan injili merupakan ajakan untuk memusatkan perhatian pada kebaikan. “Kenakan manusia baru yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenarn dan kekudusan yang sesungguhnya” (Ef 4:24).
Pengosongan diri merupakan jalan untuk mengatasi semua bobot mati dan menciptakan ruang serta membangun enersi demi kebaikan, kebenaran, keindahan, dsb. untuk Tuhan! Hal ini hanya mungkin bila kita sungguh-sungguh mengenal, menerima, mengasihi, berbelaskasihan terhadap diri kita sendiri, serta sungguh bersedia untuk berdamai dengan musuh-musuh di dalam diri kita sendiri. Ini berarti turun memasuki diri kita sejati yang terdalam, tanpa agenda tersembunyi, tanpa pelindung apapun. Inilah metode pengosongan diri sebagaimana diajarkan oleh Yesus.
Madah St. Paulus tentang Kristus (Fil 2:6-11) berbunyi sbb.: “Yesus Kristus, walaupun dalam rupa Allah, [...] mengosongkan dirinya sendiri.” Dia menerima salibNya. Kita harus meniruNya, dengan kata lain, kita harus mengahadapi realitas kita tanpa melarikan diri atau bersikap agresif, tetapi menghayati perdamaian dengan dan mengandalkan rahmat dan belas kasih Tuhan. Bagian kedua dari madah ini ialah: “Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia.” Khususnya dalam kelemahan kita, rahmat Tuhan menjadi lebih nyata dan efektif (bdk. St. Paulus, Br. Laurent). Karitas Allah menjadi belas kasih dan daya kekuatan bila kita berani membebaskan diri dari cengkeraman hidup kita sendiri. Kita berpegang teguh padanya tatkala kita berusaha mengatasi segalanya sendiri, seperti halnya kaum perfeksionis, atau tatkala kita hidup “setengah-setengah” seperti layaknya kaum Parisi. Kita harus membebaskannya, jika kita ingin memberi kesempatan kepada Tuhan untuk memasuki hati sanubari kita, untuk menyembuhkan kita dan membebaskan kita. Itulah apa yang Yesus maksudkan ketika Ia berkata: “Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Luk 18:14).
Ingatlah akan pernyataan sbb. “Siapa yang ingin menyelamatkan hidupnya, haruslah meninggalkannya, memikul salibnya sendiri, dan mengikuti Aku.” Mereka yang ingin menghayati hidupnya sepenuhnya haruslah mengosongkan diri sepenuhnya sehingga yang tinggal hanyalah dirinya yang terdalam dan yang termurni, dirinya yang hakiki, yakni manusia biasa dengan segala kebaikan dan keburukannya. Ini harus Anda terima dan bahkan cintai, dan Anda harus mendekati keburukan itu dengan penuh belas kasihan. Manusia harus mengosongkan diri sendiri dari segala yang mengisinya tanpa memenuhinya. Manusia harus memikul salibnya dan tidak melarikan diri dari realitasnya. Dia harus memahami apa yang diserukan Tuhan kepadanya di sini dan sekarang bahkan meskipun ia lemah, serta mengikutiNya melalui jalan yang mengantar kepada hidup sejati.
Bibliografi:
Grün, Anselm, Goed met jezelf omgaan. Tielt, Lannoo, 2001, h. 123.
3.Kaul-kaul kita sebagai kerangka kerja bagi tugas hidup kita, bagi pemenuhan hidup kita
Pada konferensi terdahulu kita telah merenungkan tentang bagaimana kita dapat mengarahkan hidup kita kepada kehidupan sepenuhnya supaya sampai pada pemenuhan hidup secara nyata. Ada banyak jalan yang mengarah pada pemenuhan hidup, dan pada akhirnya kita akan berkesimpulan bahwa setiap manusia mengikuti jalannya sendiri yang unik.
Pernah saya membaca pada sebuah kartu In Memoriam sbb.: “Setiap manusia mendekati Tuhan dengan cara yang berbeda.” Ini merupakan suatu ungkapan yang agak terang-terangan tentang bruder ybs. Ia pernah bekerja sebagai misionaris dan meninggal dalam salah satu kecelakaan. Siapa yang pernah berpikir atau curiga bahwa dua tahun sebelumnya ketika ia pertama kalinya menuju ke Afrika begitu penuh dengan antusiasme? Anda tentu belum memahami arti “mendekati Tuhan dengan cara yang berbeda” dalam konteks terbatas dari “saat ajal Anda.” Tentu Anda juga mendekati Tuhan sepanjang hidup Anda. Ini benar-benar merupakan sejarah yang unik yang dituliskan Tuhan bagi kita masing-masing.
Ada sejumlah jalan melalui mana kita dapat mendekati Tuhan, atau lebih baik lagi, sepanjang mana kita dapat pada akhirnya berangkat bersama Tuhan. Jalan yang dipilih oleh kaum religius atau kaum hidup bakti hanyalah merupakan salah satu saja dari antara jalan-jalan tsb. Jalan tsb. tidaklah lebih baik daripada yang lain seperti misalnya jalan pernikahan, jalan imamat, jalan kaum awam yang bertanggung jawab penuh. Namun, ini merupakan jalan yang unik dan khusus, yang ditempuh seseorang dalam kerangka kerja tertentu, yakni kerangka kerja nasihat-nasihat injili dan kaul-kaul religius. Orang mengikuti jalan hidup bakti sebagai jalan menuju hidup sepenuhnya, sejauh ia mematuhi kaul-kaul hidup bakti tsb. Dengan kata lain, kaul-kaul membantu Anda untuk tetap tinggal pada jalan hidup bakti itu.
Pertama-tama saya akan menerangkan apa jalan hidup bakti itu, dan kemudian menerangkan kerangka kerjanya, yakni kaul-kaul, secara lebih khusus.
3.1. Hidup Bakti
Pada seruan purna-sinode Vita Consecrata kita membaca definisi singkat hidup bakti sbb.: “Dasar injili hidup bakti terdapat pada relasi khusus yang dibangun oleh Yesus bersama dengan para muridNya semasa hidupNya di dunia ini” (VC N° 14).
Ada beberapa rujukan tentang kisah tentang peristiwa pemuliaan di Gunung Tabor dimana Yesus membawa tiga orang muridNya, yakni Petrus, Yohanes dan Yakobus. Mereka inilah juga yang dimintaYesus untuk menemaniNya di taman Getsemani. Di atas gunung, mereka menerima pesan berikut ini: “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia!” (Mrk 9:7). Sedangkan di taman pesannya ialah: “Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku” (Mat 26:38). Kedua pesan tsb. merupakan perintah yang secara khusus ditujukan bagi ketiga murid itu. Apakah mereka itu lebih baik daripada yang lain yang tidak diajak turut bersamaNya? Tidak, tetapi Yesus telah memilih mereka secara khusus: ini merupakan misi atau panggilan khusus mereka.
Panggilan untuk menghayati hidup bakti sangatlah berkaitan dengan kenyataan bahwa: Tuhan memilih sejumlah orang untuk membangun relasi yang lebih erat dengan mereka. Adalah suatu misteri (yang kuncinya hanya dimiliki oleh Tuhan saja) bahwa Tuhan melakukan hal ini, dan mengapa ia secara khusus memilih orang-orang tertentu. Manusia bebas untuk menerima ajakan Tuhan ini.
Joan Chittister dalam bukunya berjudul “Api Dalam Abu” memberikan ulasan berikut ini: “Seorang religius haruslah pribadi yang pertama dan terutama, selalu dan selamanya, dalam keadaan apapun, mencari Tuhan dan hanya Tuhan saja, melihat Tuhan dan Tuhan saja dalam segala kebingungan ini, dalam semua kekacauan ini dan, apapun situasinya, berbicara tentang Tuhan dan Tuhan saja” (h. 47). Dengan kata lain, menjadi seorang religius berarti berupaya mencari, melihat, dan memberi kesaksian tentang Tuhan dalam segala aspek kehidupan dan dalam segala situasi.
Ada hasrat atau keinginan yang kuat dalam hal itu: berhasrat dalam mencari, melihat, dan bersaksi tentang Tuhan karena Tuhan mencari, melihat dan mengasihi kita dengan hasrat pula. Kita boleh berkata bahwa kaum religius adalah orang-orang yang penuh hasrat dalam relasi pribadi mereka dengan Yesus dan dengan Tuhan. Hasrat Tuhan sendiri terhadap manusia bersifat menular dan merasuki manusia (cf. Jacques Haers, Geloften Aan de Grens).
Johan Baptist Metz ialah seorang penulis lain yang menggambarkan hidup religius kontemporer sebagai “suatu hasrat akan Tuhan”. Ini hasrat yang berkobar-kobar terwujudnya keadilan Tuhan seutuhnya dalam hidup ini dalam dunia ini, dalam hidupku dan duniaku, tetapi juga dalam hidup sesama dan di seluruh dunia. Inilah hasrat untuk mengabdikan diri sepenuhnya terhadapNya dengan penuh hasrat yang bernyala-nyala. Hal ini menjelaskan mengapa hasrat akan Tuhan selalu memerlukan hasrat akan manusia.
Mistisisme atau Ilmu Kebatinan, yakni hasrat akan Tuhan, selalu mengarah kepada ilmu politik, atau hasrat akan masyarakat. Metz menjelaskan hal ini dengan mengacu pada Gereja: “Gereja pertama-tama bukanlah suatu lembaga moral tetapi terlebih sebagai pengantar harapan-harapan tertentu, dan teologinya tidaklah pertama-tama suatu etika namun terlebih sebagai suatu eskatologi” (Passie voor God, h. 34). Justru harapan-harapan ini dan eskatologi itulah yang membentuk suatu moralitas dan etika sebagai cara untuk tidak menunda harapan-harapan itu, eskatologi itu, hingga kelak kemudian hari, namun memberinya suatu tempat yang tepat sekarang ini juga.
Sama juga dengan hidup bakti: Ini merupakan upaya mencari Tuhan dengan penuh hasrat sebagai jawaban terhadap hasratNya untuk mencari manusia, dengan mana si pencari mewujudkan persatuan akhir tsb, suatu persatuan dengan Tuhan yang sebenarnya hanya dapat berlangsung di kelak kemudian hari, tetapi biarpun demikian ia ingin mencoba mengantisipasinya dalam hidupnya sendiri, namun juga dalam kehidupan sesama. Mereka ingin menyampaikan kepada orang lain bahwa Tuhan mengasihi mereka juga. Dan kita ingin memperlihatkannya serta mewujudkannya dengan memperbaiki situasi kehidupan mereka, dengan membawa mereka kegembiraan kebangkitan di sini dan sekarang.
Hasrat akan Tuhan ini, pencarian Tuhan dengan penuh hasrat ini membawa dampak pada kehidupan orang-orang yang ingin menghayati hidup bakti. Orang-orang itu ingin lebih mengutamakan hasrat kepada Tuhan daripada hasratnya sendiri, sehingga pada akhirnya hasrat akan Tuhan ini mendominasi semua hasrat lainnya. Allah dinomorsatukan, dan individu serta hasrat-hasrat pribadi mereka diarahkan dan diorientasikan kepada hasrat akan Tuhan. Sisi hasrat dari kepribadian kita tidaklah tertekan, sebagaimana biasa dikatakan orang, namun diberi suatu finalitas baru, yakni: suatu pemenuhan hidup yang semuanya berhubungan dengan Tuhan. Perhatikanlah bahwa hasrat akan Tuhan merupakan suatu hasrat yang timbal-balik. Tuhan juga berhasrat terhadap kita!
Seseorang yang dipanggil untuk menghayati hidup bakti dan yang mengindahkan panggilan ini secara positif akan berusaha menjadikan Tuhan satu-satunya pemenuhan hidupnya yang terdalam, karena Tuhan memiliki segalanya dan semuanya. Dia akan menerapkan seluruh daya kekuatannya, keseluruhan keberadaannya dalam aspirasinya untuk menemukan Tuhan dan untuk menghayati hadiratNya dan dengan demikian ia menjadi suatu gambaran dari apa yang menantikannya di masa mendatang (= dimensi eskatologis hidup bakti); dengan demikian menunjukkan kepada dunia bahwa segalnya hanya akan menemukan kedudukannya yang benar dalam relasi dengan Tuhan (=dimensi kenabian hidup bakti); dengan demikian menghadapi realitas secara lain, yang justru menjadi tempat menemukan Tuhan, dimana kasih Tuhan menjadi tampak jelas, bahkan dalam hidup orang-orang yang terluka (= dimensi apostolik hidup bakti); dengan demikian hidup bersama dengan orang lain secara berbeda, dengan mengikuti teladan umat Kristiani pertama yang penuh dengan hadirat Yesus di tengah-tengah mereka (= dimensi persatuan hidup bakti); dengan demikian menjadi sangat peka terhadap tempat-tempat dimana Tuhan berseru, dan dimana orang-orang tampak musnah sebagai akibat dari Kekaburan Ilahi (= dimensi liminal hidup bakti).
Mari kita simak lagi pernyataan Chittister: “Bagi seorang religius, pencelupan dalam Tuhan menjadi alasan tunggal, sempurna, dan utuh untuk membuat semua motif hidup lain yang masuk akal, pantas dan menentukan – kasih, harta, anak-anak, kesuksesan pribadi – sekunder bagi pencarian Misteri hidup di antara kita. Pencelupan dalam Tuhan merupakan konsep yang tidak membiarkan konsep lainnya menjadi lebih besar daripada konsep itu sendiri. Itulah sebabnya cinta kita harus pertama dan terutama manjadi suatu suatu pencarian rohani” (h. 46).
Jadi orang yang membaktikan hidupnya adalah makhluk rohani yang mengubah dan mengarahkan hasrat-hasrat manusiawinya, yakni nafsu kuasa, nafsu kenikmatan, dan nafsu kekayaan, demi terwujudnya hasrat yang terluhur yakni yang terarah kepada Tuhan. Keseluruhan hidup manusia terarah pada pemuasan ketiga nafsu itu: manusia mendambakan kekuasaan atas sesamanya dan atas segala situasinya, manusia haus akan kenikmatan hidup, manusia ingin memiliki dunia. Justru hasrat-hasrat itulah yang ditampung dalam kaul-kaul religius dan nasehat-nasehat injili, serta disalurkan ke dalam hasrat terakhir, yakni Tuhan sendiri. Tujuan dari kaul kemurnian-kesucian ialah untuk mengalirkan nafsu kenikmatan, kaul ketaatan mengalirkan nafsu kekuasaan, kaul kemiskinan nafsu kekayaan. Kaul-kaul menjadi kerangka kerja dimana kita ingin membentuk hidup bakti. Marilah sekarang kita pelajari kerangka kerja itu secara lebih rinci.
3.2. Kaul-kaul sebagai kebebasan, sebagai jalan menuju hidup yang lebih sempurna.
Ada bahaya jika kita merancukan arti kaul-kaul dengan penekanan nafsu. Dalam hal ini: kaul kemurnian diartikan sebagai penekanan nafsu seks seseorang, kaul kemiskinan penekanan nafsu untuk menimbun kekayaan material, dan kaul ketaatan penekanan nafsu akan kekuasaan. Tentu saja kaul-kaul berkaitan dengan penolakan, tetapi khususnya dengan penolakan dan pengingkaran sifat dominan dari nafsu-nafsu tsb. Dikatakan bahwa kita harus menolak kenikmatan, kekuasaan atau kekayaan, karena ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang lebih agung dan tak terbatas, yakni Tuhan dan hasrat kita akan Tuhan dan hasratNya terhadap kita. Tetapi nafsu akan kenikmatan, kuasa atau kekayaan perlu dihapuskan. Fakta bahwa kita menolak untuk dikuasai oleh nafsu-nafsu kita tidaklah berarti bahwa nafsu-nafsu tsb. harus dihapus sepenuhnya.
Tujuan kita ialah bukan untuk mengontrol nafsu-nafsu kita sepenuhnya (karena hal ini mustahil jika kita tidak menekannya, yang mana membuat kita menghadapi resiko bahwa nafsu-nafsu itu mulai hidup sendiri dan sekaligus menteror dan menyiksa kita), tetapi membiarkan mereka bebas berkeliaran pada jalan hasrat kita yang besar akan Tuhan. Akan aneh jika kita berbicara tentang hasrat akan Tuhan, namun mengabaikan nafsu-nafsu alami kita sendiri. Inilah satu-satunya jalan dimana kita dapat mengasihi Tuhan, dan dengan demikian menghormati hidup manusiawi kita dengan sepenuh hati, pikiran dan kemampuan manusiawi kita. Jika tidak demikian, kasih kita akan Tuhan, sebagai jawaban akan hasratNya terhadap kita, tidaklah penuh hasrat, namun melulu bersifat rohani.
Lalu kita mendapati diri berada di tengah-tengah dualisme yang membagi manusia ke dalam suatu komponen rohani dan komponen jasmani. Aspek religius ditekan ke sudut rohani, sehingga kita berpikir bahwa tubuh kita tak ada kaitannya dengan agama. Sedangkan pesan Yesus melalui penjelmaanNya ialah bahwa agama bukanlah hal yang melulu rohaniah, namun hal yang melibatkan kita sepenuhnya. Sebagai Allah yang menjelma, Yesus memikirkan tentang manusia sebagai kesuluruhan rohani dan jasmani, roh dan nafsu!
Penolakan jasmani pada saat-saat tertentu berdasarkan keyakinan bahwa ini merupakan suatu kendala bagi mereka yang ingin mencapai tingkat rohani adalah hasil dualisme tsb yang telah berkuasa selama beberapa abad. Kaul-kaul merupakan latihan-latihan untuk melemahkan daging, bagian jasmani dari keberadaan kita dari suatu visi yang sangat negatif terhadap tubuh. Lalu apakah Tuhan menciptakan sesuatu yang kotor, sesuatu yang negatif? Apakah kita tidak mendekati Tuhan dengan jasmani dan rohani kita? Apakah kita tidak berbicara tentang tubuh kita sebagai kenisah Roh Kudus?
Jika kita sekarang menyebut kaul-kaul, jika kita berkaul dan hidup berdasarkan kaul-kaul tsb, maka kita harus melaksanakannya dengan positif, sebagai suatu ajakan untuk mengarahkan keberadaan hasrat kita sepenuhnya kepada hasrat akan Tuhan dan hasratNya akan kita. Nafsu akan kuasa, kekayaan materiil, dan kenikmatan merupakan suatu realitas dalam kehidupan tiap manusia. Ini semua merupakan daya untuk hidup, daya hidup! Tujuannya ialah untuk menyingkirkan aspek buruknya, dominasinya, daya yang dimilikinya atas manusia, daya untuk memperbudak manusia sebagai budak nafsu, untuk menyalurkannya, mengubahnya menjadi daya hidup yang harus sungguh-sungguh memenuhi hidup kita, yakni hasrat akan Tuhan dan hasratNya akan kita. Ini merupakan perwujudan apa yang dikatakan oleh Injil: Pada akhirnya yang kumiliki hanyalah Tuhan, hasratku satu-satunya ialah Tuhan, aku ingin mengarahkan hidupku sepenuhnya kepada Tuhan. Kita ingin mendalaminya secara lebih terinci lagi dengan membahas ketiga kaul.
3.3. Tidak menikah demi Kerajaan Surga
Tentang keperawanan St. Agustinus berkata demikian: “Keperawanan merupakan meditasi yang tak terputuskan dan menetap tentang kebangkitan selama aku masih berada dalam tubuhku yang fana.” Pengertian ini mewarnai pentafsiran kita tentang kaul kemurnian, yakni tidak menikah karena Kerajaan Surga.
Sekarang tiga istilah digunakan untuk menggambarkan kaul, yaitu kemurnian, keperawanan, dan selibat. Sebenarnya kita membicarakan kaul kemurnian dalam kaitannya dengan nafsu kita akan kenikmatan saja. Keperawanan lebih merupakan suatu sikap hidup yang melebihi kaul kemurnian, yakni sikap hidup yang memungkinkan seseorang untuk tetap terbuka terhadap setiap orang, tanpa menjadi terikat dengan seseorang secara khusus. Maria disebut sebagai perawan karena dia tidak berhubungan dengan lelaki tertentu manapun. Selibat ialah keadaan tidak menikah dalam hidup, tetap tidak menikah secara suka rela atau tanpa sengaja. Dengan kata lain, selibat adalah tipe status hidup, keperawanan adalah sikap hidup, dan kemurnian merupakan cara luhur yang tidak secara ketat dipelihara bagi mereka yang telah memilih keperawanan atau selibat dalam hidupnya: setiap orang dipanggil untuk menjadi murni dalam status dan sikap hidupnya. Bila kita berbicara tentang kaul kemurnian sebagai religius, maka kita mentafsirkannya dalam kombinasi dengan keperawanan dan selibat.
Kembali kepada St. Agustinus: kaul-kaul harus ditafsirkan dalam konteks kebangkitan; kaul-kaul adalah jalan hidup masa kini sebagai mahluk yang telah bangkit, dengan prospek kebangkitan, yang bersifat abadi. Hidup bakti dalam dimensi eskatologisnya merupakan antisipasi kehidupan yang menantikan kita. Ini sama dengan kaul kemurnian, yakni hanya akan bermakna jika kita mentafsirkannya dalam konteks prospek kebangkitan, hasrat akan Tuhan dan hasrat Tuhan akan kita, dan kehendak untuk menjadi milik Tuhan sepenuhnya. Cara untuk melaksanakannya ialah dengan memurnikan nafsu-nafsu kita, dalam hal ini nafsu akan kenikmatan, dan memurnikannya untuk membebaskannya dari kepentingan diri dan kekerasan, dan mengarahkannya kepada kedatangan Kerajaan Allah, kepada relasi yang luhur dengan Tuhan.
Energi yang terkandung dalam nafsu akan kenikmatan tidaklah boleh ditekan tetapi harus disalurkan. Ini berkaitan dengan pemurnian kasih manusiawi, dan bagaimana meletakkannya di bawah kekuasaan kasih ilahi, sebagaimana ditentukan dalam Perintah Kasih, yakni pertama-tama kasihilah Tuhan Allahmu, dan kemudian kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri! St. Ignatius pernah berkata demikian: “Berikanlah kasihmu padaku, itu saja sudah cukup!”; St. Teresa Avila berkata: “Tuhan saja sudah cukup bagiku!” Dalam perayaan ekaristi kitapun berseru: “Jangan jauhkan kami dari kasihMu!”
Fase pertamanya ialah untuk menjadikan kasih Allah, hasrat Allah, mengatasi nafsu-nafsu kita. Nafsu kita, yang disebut juga afeksi kita, tidaklah merupakan hal yang utama, tetapi ini harus diabdikan demi kasih sebagaimana diungkapkan dalam Perintah Kasih. Lalu kita memandang Tuhan, sesama dan diri kita sendiri dengan perasaan murni dan penuh kasih sayang. Kita akan memandang umat manusia dan dunia dari sudut pandang Allah sendiri dan menghadapi mereka berdasarkan komitmen kasih ilahi.
Oleh karena itu, persahabatan adalah penting karena ini merupakan salah satu konsekuensi dari kasih spontan kita terhadap sesama. Persahabatan dalam hidup bakti juga baik dan bahkan perlu, sejauh kita tidak menguasai sesama kita, atau menggunakannya untuk memerangi perasaan kekosongan kita, Dalam kasus-kasus semacam itu, persahabatan menjadi menyimpang. Kita senantiasa dapat bertanya: Murnikah kebutuhanku untuk berada bersama seorang sahabat itu? Murnikah caraku memandang sahabatku itu?
Keseluruhan tema seksualitas harus ditempatkan pada bidang ketegangan ini yang merupakan dorongan untuk mengungkapkan diri sendiri dengan penuh kasih sayang dan perasaan, walau memang selalu ada resiko menguasai sesama kita. Seksualitas merupakan dorongan positif sejauh ditujukan pada kemanusiaan sesama dan kemanusiaan kita sendiri dari segi afektif. Tetapi semua perilaku seksual yang membuat kita egotistik, yakni kenikmatan dalam arti sebenarnya, pelecehan sesama demi kenikmatan sendiri, dll., menjauhkan kita dari sifat-sifat positif seksualitas. Memang mungkin kita tertarik pada aspek-aspek keindahan tubuh, namun segalanya mulai menjadi salah begitu kita mulai menggunakannya bagi kenikmatan egotistikal kita sendiri.
Dari sini kita melihat bagaimana kepercayaan dan kesaksamaan harus seiring sejalan dalam konteks kemurnian. Dengan kata lain, kita harus menangani nafsu, seksualitas, dan perasaan-perasaan kita secara positif dengan penuh kepercayaan. Sekarang kita menyadari bahwa kita perlu berhati-hati karena selalu ada bahaya egotisme. Dalam konteks itu, pentinglah kita tetap jujur terhadap diri kita sendiri. Semua hal yang tidak mendekatkan kita pada Tuhan atau menjauhkan kita dariNya haruslah dihindari atau diubah. Jadi bukan penekanan, melainkan integrasi dalam hidup kitalah yang merupakan jawaban yang tepat. Jelas diperlukan latihan seumur hidup, dengan rahmat Tuhan, untuk memurnikan diri kita sendiri dari segala kendala yang dapat menyesatkan kita dari jalan Tuhan, jalan menuju kasih yang murni. Egotisme akan musnah pada saat ajal kita, begitu kata beberapa orang.
Mari kita kembali lagi pada pendapat tentang menghadapi realitas diri kita dengan penuh kasih dan fakta bahwa Tuhan mengenal kita dalam hal ini dan biar bagaimanapun Ia tetap mengasihi kita. Kita dapat berseru dan berdoa dengan Pemazmur sbb.: “Tuhan, Engkau menyelidiki dan mengenal aku; Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh. Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalanku Kaumaklumi” (Mzm 139:1-3). Kita harus menyadari fakta bahwa kita hanya dapat memurnikan diri sepanjang hidup kita, berkat rahmat Tuhan.
3.4. Datanglah KerajaanMu, jadilah KehendakMu!
Kaul ketaatan mengajak kita memurnikan nafsu kita akan kekuasaan, dan mengembangkan semua energi kita demi pengembangan Kerajaan Allah. Di sini kita harus mengikuti jejak Kristus, yang bersabda bahwa Dia datang untuk memenuhi kehendak BapaNya, dan oleh karena itu Dia ingin menjadi seorang hamba. Misi rangkap ini tampaknya bertentangan dengan kekuasaan yang ingin kita kembangkan, yakni memenuhi kehendak kita sendiri dan berkuasa. Dalam hal ini kita berurusan dengan perubahan ganda: tidak memenuhi kehendak kita sendiri melainkan kehendak Tuhan sebagaimana disampaikan kepada kita melalui orang-orang dan kejadian-kejadian tertentu, dan tidak menguasai namun mengabdi. Kekuasaan kita dimanusiawikan, ditelanjangi dari segala maksud egotistic, begitu kita mengabdi demi tujuan yang lebih tinggi, yakni kedatangan Kerajaan Allah di muka bumi, kesejahteraan segenap umat manusia, hasrat akan Tuhan dan hasratNya akan kita, yang berarti juga hasrat kepada sesama kita.
Pada diri kita masing-masing ada kecenderungan positif untuk berusaha menguasai realitas, mengorganisirnya, membentuknya menurut visi dan keyakinan kita sendiri. Perkembangan masyarakat sepenuhnya merupakan hasil dari sifat tsb. Setiap manusia yang mampu harus memiliki suatu bidang dimana dia dapat mewujudkan dirinya sendiri, dan dimana dia berusaha untuk menguasai orang lain dan situasi-situasi. Sepanjang kuasa atas orang lain dan situasi-situasi itu dimanfaatkan dengan baik, sementara tetap mementingkan perkembangan masyarakat, ini merupakan hal yang positif. Namun sementara kita menggunakan kekuasaan kita, musuh diam-diam menanti untuk merongrongnya seperti seekor cacing, dan untuk menyesatkannya. Kuasa kemudian menjadi tujuannya sendiri yang mengatur pikiran manusia (pikiran “penguasa” serta pikiran mereka yang berada di sekelilingnya). Kebebasan pribadi dikorbankan demi kekuasaan. Perjuangan demi kuasa, dan demi akumulasinya menjadi tujuan tunggal, dan akhirnya menyedot seluruh enersi orang tsb. Sejarah telah mengajar kita dan masih mengajar kita tentangn konsekuensi-konsekuensi yang membawa malapetaka dari proses tsb. Namun bahkan dalam hidup kita sendiri kita mengalami pergulatan ini. Boleh dikata cacing ini, yang mengancam untuk merongrong pelaksanaan kekuasaan kita secara sehat, kemudian meghancurkan kebebasan kita. Karena ancaman terus menerus inilah maka penggunaan kekuasaan dijadikan pelecehan kekuasaan, yang mengakibatkan pengertian negatif tentang kata “kuasa”.
Kristus bahkan selalu bereaksi terhadap kekuasaan yang Dia lihat pada orang lain, dan yang mereka ingin tawarkan kepadaNya. Menurut Kristus, setiap pelaksanaan kekuasaan haruslah diabdikan pada pelayanan. Meskipun tampaknya cukup berlawanan, Dia selalu mengulangi bahwa siapapun yang ingin menjadi yang terbesar harus menjadi yang terkecil dan melayani sesamanya. Kaul ketaatan merupakan ajakan kuat untuk mengembangkan sikap mendasar pelayanan ini. Ini mengajak kita untuk tetap berjuang membantu menciptakan suatu komunitas yang mementingkan kesejahteraan sesama manusia. Metode yang teraman ialah melalui pelayanan itu. Kapan saja kita menguasai sesama demi promosi diri kita sendiri, kita menyimpang dari jalur pelayanan, dan kita menghadapi resiko jalan buntu pada pelecehan kekuasaan. Masalahnya sangat sering hal ini terjadi tanpa kita sadari karena kita terlanjur membutakan diri sendiri dari segala itikad baik. Jauh menjadi lebih berbahaya lagi jika manusia dikesampingkan demi suatu ide, betapapun mulianya ide tsb. Seseorang yang diperbudak oleh prinsip-prinsip dan ide-idenya, kehilangan kebebasannya yang sejati, meskipun dia boleh jadi merasa yakin bahwa prinsip-prinsip dan ide-ide ini akan menjamin dan meningkatkan kebebasannya. Akhirnya, satu-satunya orang yang ia dengarkan hanyalah dirinya sendiri, dan mereka yang mendukung rasa aman dirinya serta menguntungkannya.
Kaul ketaatan berlawanan secara mendasar dengan hal tsb. Sementara kita mengikrarkan kaul itu kita berjanji untuk secara lebih seksama mendengarkan sesama kita, terhadap pertanyaan-pertanyaannya, supaya membantunya menyempurnakan situasi hidupnya. Dari sudut pandang teologis, idenya ialah kita ingin pertama-tama mendengarkan Tuhan dan apa yang Dia harus katakan tentang umat manusia dan dunia. Dari segi antropologis, ini berarti bahwa kita harus membaktikan seluruh usaha hidup kita bagi peningkatan kesejahteraan manusia di dunia ini. Disini pulalah suatu mukjizat dapat terjadi. Jika kita berusaha agar upaya hidup kita sendiri diabdikan atau diorganisir sedemikian rupa demi kemajuan kesejahteraan sesama kita, kita akan mendapatkan kebahagiaan dengan mengalami betapa baiknya perasaan kita dalam hidup kita sendiri.
Dalam “ketaatan” terdapat aspek mendengarkan, yang berarti kita berada di sana dan mendengarkan suara Tuhan di tengah-tengah masyarakat dan dalam segala situasi. Melalui merekalah Tuhan menyampaikan pesanNya kepada kita. Apakah kita menerima pesanNya, ataukah kita hanya mendengarkan pesan kita sendiri? Seluruh Kitab Suci merupakan contoh bagaimana Tuhan berbicara melalui masyarakat dan dalam kejadian-kejadian tertentu. Ia terus menerus mendorong umatNya untuk mendengarkan. “Dengar, umatKu!” Di Gunung Tabor pada saat pemuliaan Tuhan, kepada tiga orang rasul Ia berkata: “Dengarkanlah Dia!”
Ketaatan itu lebih dari sekedar menghormati sejumlah hukum dan peraturan, atau meminta ijin untuk hal apapun yang kita ingin lakukan. Ketaatan terutama sekali ialah mengenali suara Allah yang hidup, yang menantang kita dan mengajak kita untuk mengikutiNya, dalam perubahan hidup yang konkrit, dalam perjumpaan-perjumpaan dengan segala macam masyarakat. Setiap perjumpaan dapat menjadi suatu perjumpaan dengan Tuhan, dan menjadi pertanda dari Tuhan. Terserah kepada kita bagaimana kita peka terhadap pertanda-pertanda itu. Ini hanyalah mungkin jika kita memasukkan dalam hati setiap perjumpaan baru.
Tangisan kaum tertekan dan marjinal adalah juga tangisan Tuhan yang meratap bersama dengan umatNya. Dalam kitab Keluaran (3:7), kita baca sbb.: “Aku telah memperhatikan denan sungguh kesengsaraan umatKu di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka yang disebabkan oleh pengerah-pengerah mereka, ya, Aku mengetahui penderitaan mereka”. Dengan kasih Tuhan terhadap umatNya yang seperti inilah kita harus berjuang menentang ketidakadilan yang menyebabkan umatNya menderita dengan segenap kekuatan kita. Ini menjadi ketaatan yang sangat aktif, semacam ketaatan yang melebihi sikap membudak yang hanya mengikuti sejumlah perintah atau mentaati aturan-aturan dan hukum-hukum tertentu, yang terkadang lebih menyerupai sistim yang kita ciptakan sendiri yang harus menjamin ketenangan hidup. Dalam kasus terakhir itu, energi yang dibangkitkan oleh nafsu kuasa kita dipadamkan. Ketaatan sejati itu tertuju pada mengurangi energi itu demi kesejahteraan manusia dan berdirinya Kerajaan Allah di atas bumi ini.
Ketaatan juga memerlukan kepercayaan dan kewaspadaan atau kebijaksanaan. Kepercayaan karena perjuangan kita demi kekuasaan tidaklah salah jika ini ditujukan demi kesejahteraan sesama kita, dan oleh karenanya juga demi berdirinya Kerajaan Allah. “Datanglah KerajaanMu!” Kewaspadaan atau kebijaksanaan karena dalam kekuasaan itulah terdapat banyak egotisme, ambisi buta, dan dorongan untuk membuktikan diri sendiri, semuanya yang lebih tertuju pada kesejahteraan pribadi daripada kesejahteraan sesama. “Jadilah kehendakMu, bukan kehendakKu.” Kita harus terus-menerus bertanya apakah kita tidak terlena dalam semacam dunia dongeng kita sendiri, benarkah ini kehendakNya yang kita laksanakan ini? Juga, ungkapan “mengikuti hati nurani sendiri” dapat menjadi alasan untuk melaksanakan kehendak sendiri yang didasari oleh motif-motif egois, karena ambisi kita dan dorongan kita untuk membuktikan kemampuan sendiri. Hanya dengan belas kasih Tuhanlah kita akan berhasil memurnikan hasrat kita akan kuasa dari hari ke hari.
3.5. Menjadi miskin dalam hati
Akhirnya, kaul kemiskinan. Di sini kita menghentikan perjuangan kita demi kekayaan materi. Harta milik adalah nilai-nilai penting yang alami bagi manusia. Kita diciptakan sebagai pemilik bumi dan segala yang dihasilkannya, serta diajak untuk menggunakannya sebagai seorang manajer yang baik. Kepemilikan dipandang dan dianggap lebih rendah daripada manajemen. Kita bukanlah pemilik tunggal apapun namun kita adalah para pengguna yang mendapatkan keistimewaan khusus dan manajer yang teliti. Hal yang sama dapat terjadi pula pada kepemilikan serta kesenangan dan kekuasaan. Dari suatu sarana perkembangan hidup kita atau hidup sesama kita di dunia berubah menjadi suatu tujuan tersendiri, yang pada akhirnya menguras seluruh energi kita. Akhirnya, manusia akan merasa tidak pernah puas, dia akan mengembangkan nafsu serakah yang tak terpuaskan. Kita berusaha mengabaikan kemalangan dengan menimbun kekayaan materi yang menyebabkan kemalangan baru yang tak berakhir: bagaimana kita dapat menjaga dan menambah lagi apa yang telah kita miliki?
Kekurangan harta benda yang menyebabkan kita hidup takkan pernah dapat disajikan sebagai sesuatu yang baik. Meskipun adalah hal yang hakiki untuk mampu berkata “cukup” dan berpegang teguh pada keputusan itu. Keseluruhan drama kemiskinan dan keterbelakangan dapat dipecahkan jika banyak orang mengambil sikap “cukup”. Setiap harta milik yang berlebihan berarti pula orang lain kekurangan sesuatu yang hakiki baginya untuk tetap hidup. Inilah eksploitasi alam yang tidak selalu langgeng sebagaimana dipikirkan oleh banyak orang.
Pemikiran ini membuat kebanyakan di antara kita resah, karena untuk menerapkannya dalam praktek sangatlah menyakitkan. Garis antara apa yang hakiki dan apa yang berlebihan tidaklah selalu jelas. Lagipula, hal yang sama juga berlaku antara menggunakan sesuatu dan memiliki sesuatu dengan tamak. Oleh karena itu, kaul kemiskinan merupakan suatu ajakan untuk mengharapkan segala sesuatu yang kita butuhkan dari Tuhan, dengan mempercayaiNya secara setia.
Dalam komunitas religius kita beruntung karena bebas dari kekhawatiran tentang harta benda duniawi. Kita dijamin dengan pelbagai keperluan sederhana, dan lebih banyak lagi. Namun kita berisiko terikat pada eksistensi bersenang-senang, dan menjadikannya sebagai tujuan tersendiri. Eksistensi kita kemudian diarahkan pada tinggal di suatu tempat yang aman, tenteram, dan terisolir dari dunia. Ini sama sekali bertentangan dengan panggilan injili untuk selalu siap guna pergi dan mengabdikan seluruh eksistensi kita demi kesejahteraan sesama kita. Kaul kemiskinan itu tidak terpisah dari ajakan menanamkan dalam hidup kita suatu panggilan untuk mengorbankan diri, bukan mengundurkan diri; untuk mengorbankan diri dengan seluruh talenta dan sifat kita, membantu membangun dunia sebagaimana dicita-citakan oleh Tuhan, sebagaimana diperjuangkan oleh Yesus sampai wafatNya; bebas dari segala kekhawatiran akan benda-benda duniawi, hanya mencemaskan kedatangan Kerajaan Tuhan, serta dengan menanamkan segala harta benda duniawi kita.
Hakikat kaul kemiskinan itu berkatan dengan cara dimana kita bersikap terhadap diri sendiri: sebagai pemilik hidup kita yang penuh kekhawatiran dan tamak ataukah sebagai para pemberi kehidupan yang bahagia. Sebagai orang-orang yang terlalu cemas akan kesehatan mereka sendiri, atau sebagai orang-orang yang serta-merta mencemaskan kesejahteraan dan kesehatan orang lain, dan oleh karenanya berisiko membahayakan kesehatan kita sendiri. Salah satu kosekuensi dari kaul kemiskinan kita ialah kebahagiaan dan kegembiraan kita: bahagia dengan apa yang telah diberikan kepada kita setiap hari, dan melihatnya sebagai uluran kemurahan hati Tuhan yang menjamin segalanya bagi kita.
Kaul kemiskinan merupakan suatu gambaran tentang keadaan kita di masa mendatang: tak lagi terikat dengan harta benda duniawi, dan sepenuhnya puas karena Tuhan. Ungkapan St. Teresia Avilla, “Tuhan saja sudah cukup bagiku”, sekali lagi sangatlah tepat dan mengena sekali dalam hal ini. Kemiskinan religius berarti “dipuaskan dengan apa yang kita miliki, suka membagikan apa yang kita miliki, dan tidak terlalu khawatir dengan apa yang akan terjadi esok hari. Dalam hal itu Konstitusi kita dengan sangat jelas menyatakan: “Waktu, bakat, kekayaan serta kebaikan hati dan budi, segala itu kita sediakan bagi orang yang menderita kekurangan atau yang kurang beruntung mengenai hal-hal itu. ... pada wajah kita tercermin kebaikan Allah Bapa.” (Konst. N° 30)
Pertanyaan mendasar tentang kaul kemiskinan ialah: “Apa yang kita masukan dalam hati kita: akankah kita mengarahkan hidup kita pada penimbunan harta benda, kepastian, prestasi, dan memperbanyak semuanya itu dari hari ke hari, atau apakah kita mampu menjauhkan diri kita dari semua harta benda duniawi yang tidak penting itu, dan apakah kita ingin hidup dengan mengandalkan diri pada Tuhan, dengan mengharapkan segala sesuatu daripadaNya, siapakah yang menjadi satu-satunya pemenuhan hidup kita?
Bibliografi
Chittister, Joan, The fire in these ashes. Kansas City, Sheed & Ward, 1996, h. 178
Grün, Anselm dan Scharz, Andrea, Alles loslaten omdat Hij mij niet loslaat. Averbode, Gooie en Sticht, 2000, h. 213.
Haers, Jacques, Geloften aan de grens. Averbode, Altiora, 2000, h. 115.
Metz, Johann Baptist, Religieuzen naar een nieuwe tijd? Mystiek en politiek van de navolging. Boxtel, Katholieke Bijbelstichting, 1977, h. 88.
Metz, Johann Baptist dan Peters, Tiemo Rainer, Passie voor God: Over het kloosterleven in deze tijd. Brugge, Tabor, 1992, h. 75.
Van Baven, T.J., Ooit een land van kloosters – teksten van Augustinus over het kloosterleven. Leuven, Agustijns Historisch Instituut, 1999, h. 303.
Van Breemen, Piet. Het gaat om de liefde. Tielt, Lannoo, 1999, h. 149.
Vita Consecrata. Post-synodal apostolic exhortation on consecrated life. www.vatican.
4. Suatu Hidup Yang Dibaktikan Kepada Tuhan
“Kenakanlah Kristus dalam dirimu. Berpakaian Yesus Kristus secara rohaniah tak lain ialah memenuhi hati dan roh kita dengan perasaan dan ajaran-ajaranNya. Ini berarti menghayati hidup seperti Dia, dan mengorganisir jalan hidup kita sesuai dengan teladan ilahi.” (Petrus Yosef Triest)
Dengan kata-kata di atas Rama Triest membuka upacara oblasi, suatu momen dimana kaum muda memulai masa novisiat mereka dan secara resmi menyatakan bahwa mereka ingin menjadi religius. Sejak awal, dia menyatakan dengan tegas: “menghayati hidup religius berarti menelusuri hidup Kristus secara eksklusif. Oleh karena itu, upacara ini pertama-tama merupakan suatu kejadian religius, berpakaian diri dalam pribadi yang baru, memasuki rahim Kasih Allah. Dengan penuh syukur, wahai para mempelai terkasih, berpakaianlah dalam keadaan yang kalian cita-citakan,, sesuai dengan apa yang kuharapan padamu dengan sepenuh hatiku, dan dalam pakaian yang sederhana dari keadaan yang telah kalian pilih ini.”
Ketika berbicara kepada para biarawan/watinya tentang nilai-nilai hidup religius, Triest menggunakan istilah-istilah yang lazim pada jamannya, dan menyemangati mereka untuk secara ketat mentaati aturan hidup bertapa. Dengan setia pada aturan tsb. seorang religius mengungkapkan keinginannya untuk mentaati dan menghayati kemiskinan dan kemurnian, dan dengan demikian ia mengikuti teladan Tuhan sendiri. “Aturan hidup bagi seorang religius merupakan jalan yang secara langsung tertuju ke Surga. Tak ada kesempurnaan, ataupun kesucian bagi seorang religius yang tidak setia terhadap aturan.”
Sekarang ini tekanan terhadap kesetiaan kepada aturan tertulis tidak lagi ketat, tetapi terlebih pada ditekankan pada tanggung jawab masing-masing religius untuk tetap setia terhadap karisma tarekat. Gantilah kata “aturan” dengan “karisma” maka ungkapan Rm. Triest tsb. tetaplah absah hingga hari ini.
Dalam surat edaran Tahun Baru 1832 yang ditujukan kepada Para Suster Karitas di Beerlegem, ia menulis demikian: “Jika aturan-aturan ditaati, maka kasih, persatuan, kesalehan, dan semua jenis kebajikan lainnya akan berkuasa. Kemudian juga Surga. Kebajikan-kebajikan tidaklah ada dalam biara jika kaum religius tidak mentaati aturan-aturan dengan baik. Jika aturan-aturan itu ditaati, maka overste tidak perlu hadir, karena aturan-aturan itu akan memerintah dalam biara. Betapa besarnya kelegaan hati dan kepuasanku jika mengetahui bahwa di semua biara aturan-aturan diikuti dengan ketat. Hal itu tak lain daripada melayani Tuhan sendiri dengan sepantasnya, memelihara cinta kasih sebaik-baiknya, melaksanakan karya-karya kasih secara memadai.”
Dari ungkapan tsb. jelaslah bahwa bagi Rm. Triest aturan itu lebih dari sekedar suatu daftar sederhana pokok-pokok praktis untuk mempermudah hidup komunitas religius. Baginya aturan lebih berkenaan dengan pemahaman rohani dan kesaksian jasmani dari apa yang dimaksud dengan bersatu dengan Tuhan melalui hidup bakti seseorang kepadaNya. Kita juga ingat akan kata-kata Triest, ketika ia berbicara kepada para brudernya yang pertama pada saat penyerahan aturan kepada mereka di tahun 1809. “Aturan-aturan yang kuberikan kepada kalian adalah kutipan-kutipan dari karangan orang-orang saleh dan kudus. Di dalamnya terdapat sebagian dari kewajiban kalian, yakni peraturan-peraturan mengenai kelakuan lahiriah. Adapun mengenai keadaan batin, Roh Kuduslah yang akan mengajarkannya kepada kalian.”
Ini juga bagaimana kita harus memandang situasi saat ini. Ada aturan-aturan dan direktorium-direktorium yang harus membantu kita mengorganisir sisi praktis hidup kita sebagai religius, dan pentinglah bagi kita untuk mengenal mereka dan mengikuti mereka. Namun, aturan kita sebenarnya berkenaan dengan karisma kita, bahwa inilah yang Roh Kudus kembangkan dalam diri dan tarekat kita. Bagian inspiratif dari Konstitusi kita berusaha memberikan suatu gambaran dengan perkataan tentang hal itu, dan menerangkan tentang isi dari kehidupan yang telah kita pilih untuk dibaktikan kepada Tuhan. Dengan mengikuti aturan dalam makna ungkapan sepenuhnya kita mewujudkan pemenuhan panggilan kita seturut petunjuk Tuhan. Kepada kemenakannya, Emmanuel Triest, dia menuliskan hal ini: “Masing-masing panggilan harus datang dari Tuhan. Oleh karena itu adalah kewajiban kita untuk mencegah panggilan kita dari segala halangan. Jika engkau harus menanggapi rahmat yang diberikan Tuhan kepadamu, maka kamu pun harus mengikuti jalan yang tertuju pada kebahagianmu itu!
Kita harus memenuhi panggilan ini dengan secara setia memahami komitmen hidup kita dan dengan setia memenuhi kaul-kaul kita. Tentang hal ini, Triest menasihati kita juga demikian: “Kalian harus menyadari bahwa dengan taat kepada Tuhan, kalian memenuhi kehendakNya. Segala kepuasan dan kebahagiaan kalian haruslah didasarkan pada ketaatan kalian.”
Tentu saja Triest ingin menekankan pentingnya ketaatan secara ketat terhadap perintah para overste. “Dengarkanlah dentang lonceng dan suara overste kalian sebagai suara Tuhan sendiri”. Namun ia tetap menekankan bahwa ketaatan memiliki dimensi yang lebih mendalam lagi. “Untuk menjadi baik dan dengan demikian menyenangkan Tuhan, kalian harus berusaha keras berdasarkan pendapat yang baik. Kerjakanlah tugas-tugas kalian sehari-hari, baik lahiriah maupun batiniah, sesempurna mungkin. Ambillah segala sesuatu dan setiap kesempatan sebagaimana Tuhan telah menyiapkannya demi kebaikan kalian, dengan cara apapun kalian terlibat dan diutus untuk bertindak. Ambillah semuanya itu dengan gembira karena inilah kehendak Tuhan.”
Dimensi sosial ketaatan terbukti dalam visinya tentang bagaimana seharusnya kita melayani Kristus dalam diri orang miskin. Karena dengan demikian kita mematuhi panggilan Tuhan melalui kaum miskin. “Kalian tidak dapat menggambarkan Yesus Kristus secara lebih sempurna selain bersikap penolong kepada mereka yang dalam kesusahan, yang memikul salib kemiskinan, penyakit dan kemalangan, mereka yang menjadi korban bencana dan sekaligus kecelakaan.”
“Mentaati” menjadi “membuka diri bagi permintaan yang ditujukan kepada kita oleh masyarakat, dengan menerima secara positif semua keadaan hidup dan mengantisipasi kebutuhan sesama kita. Kaul ketaatan juga memiliki dua dimensi, yakni: di satu sisi, menghayati dan merasakannya, di sisi lain, suatu pengabdian kepada kaum miskin di dunia ini.
“Carilah dan dalam semangat kemiskinan kenakanlah pakaian yang paling sederhana, serta tinggallah pada tempat yang paling sederhana. Janganlah kalian memiliki apapun yang tidak kalian perlukan. Berbahagialah jika kalian terkadang mengalami kekurangan sesuatu, bahkan bila benda tersebut sangatlah diperlukan, karena ini merupakan bukti bahwa kalian benar-benar miskin dalam pikiran dan bukti bahwa kalian benar-benar pengikuti teladan Yesus Kristus. Berusahalah selalu dan dalam segala sesuatu untuk menghayati hidup yang tersederhana, dan tunjukkanlah hal ini dalam tindak-tanduk kalian.” Itulah nasehat tentang bagaimana kita harus mewujudkan kaul kemiskinan dalam hidup kita. Tetapi, Rm. Triest menghubungkannya dengan panggilan kita untuk melayani kaum miskin, “bersukacitalah dalam melayani kaum miskin dan malang yang dianggap sampah masyarakat. Inilah semangat Kristus. Semua kaum miskin yang kalian layani akan memberkati kalian, dan seraya kalian mengenali wajah Yesus Kristus yang menderita pada wajah mereka, mereka pun mengenali pribadi Yesus Kristus, Sang Penyelamat dan Penghibur, dalam diri kalian.”
Perlu diakui bahwa tulisan Rm. Triest tentang kaul kemurnian tidaklah banyak jumlahnya. Dia memandang orang religius sebagai mempelai Kristus, suatu milik Tuhan yang tak terbagi. “Kalian telah memilih kami sebagai kaum perawan dan mempelai sehingga kami yang bebas dari ikatan hawa nafsu dan murni jasmani rohani, menjadi milikmu yang tak terbagi.” Tentang kemurnian ia menulis sbb. “Doa, matiraga dan kemurnian saling terjalin karena ikatan yang tererat dan tak terputuskan. Tanpa doa, matiraga menjadi tak tertahankan. Tanpa matiraga, doa menjadi hambar. Tanpa doa dan matiraga, kaul kemurnian menjadi sulit untuk dipertahankan dan mudah dilanggar.”
Rm. Triest telah membuktikan diri, dengan menghayati hidup selibatnya sendiri, bahwa jalan hidup keperawanan menghasilkan kesiapsediaan yang lebih baik. “Aku menyerahkan kepadamu jam-jam jagaku, keprihatinanku, jerih-payahku, istirahatku, dan tidak hanya pada saat-saat tertentu saja, namun setiap saat, siang dan malam. Panggillah aku kapanpun kalian memerlukanku, jangan segan-segan, karena aku merasa bahagia setiapkali aku boleh mengorbankan istirahatku; kesehatanku, dan bahkan nyawaku demi kamu, seturut teladan Tuhan Yesus Kristus, Guruku.”
Untuk memohon kesiapsediaan secara total sebagai religius kepada Tuhan sebagai tanda rahmatNya, Rm. Triest biasa berdoa sbb.:
“Ragaku, jiwaku, hatiku,
milikku, kesehatanku, talentaku,
semua karunia ini kumiliki di dalam tanganku,
namun telah dijadikan alat ketidakadilan,
kasihanilah aku, ya Tuhan,
jadikanlah semua ini alat keadilan di masa mendatang.”
5. Tuhan ingin kamu menyediakan banyak tempat
bagiNya di dalam hatimu
Hidup bakti, termasuk penghayatan ketiga kaul, merupakan jalan kita mencari Tuhan, dan mencintaiNya dengan segenap hati, budi, dan tenaga rohani kita. Dengan cara inilah kita membiarkan kasih Tuhan menguasai kita sepenuhnya. Logisnya hal ini akan mengubah hidup kita secara total, mengubah kita menjadi rohaniwan/wati yang merindukan kedatangan Tuhan sepanjang hidup kita. Kita menjadi pencari Tuhan secara profesional, yang berseru bersama St. Agustinus: “Hatiku yang penuh kerinduan ini takkan pernah mendapatkan kedamaian selama ia belum menemukan kedamaian dalam Tuhan!”
Hidup religius bukanlah sesuatu yang dapat kita jalankan sebagai sampingan saja, seperti kalau kita menjadi seorang anggota suatu klub atau asosiasi tertentu. “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi, karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku lebih mulia daripada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskah semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus, dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan.” (Fil 3:7-9). Kita dapat mengatakan hal ini bersama St. Paulus dan Konstitusi kita, sbb.: “Cinta kepada Kristus menentukan segenap tingkah laku dan menguasai sepenuhnya kehidupan kita. Oleh sebab itu cinta kepada siapa dan apa saja kita integrasikan dalam cinta tunggal itu, sambil memperdalam maknanya. Berkat bantuan Tuhan dan penguasaan diri kita akan mampu menyingkirkan segala hambatan untuk serah diri total tsb.” (Konst. N° 10).
Ini merupakan suatu tantangan besar yang memerlukan pertobatan; pertobatan dalam hal bagaimana kita memperlakukan diri kita sendiri, dan cara kita memperlakukan sesama kita. Dampak-dampak dari devosi kita yang tak terbagi kepada kasih Kristus, kepada kedatangan Kerajaan Allah, dan kepada hasrat Tuhan, manjadi nyata pada tiga taraf yang berbeda-beda, yang juga membentuk tiga dimensi hidup bakti kita.
Dimensi pertama ialah relasi pribadi kita dengan Tuhan yang menjadi kian jelas setiap hari melalui doa-doa kita. Dimensi kedua ialah relasi kita dengan orang-orang di sekitar kita. Dalam hal ini, ada suatu dimensi ekstra, karena kita sebagai bruder hidup bersama dalam komunitas-komunitas. Dimensi ketiga dan terakhir ialah relasi kita dengan dunia, dan kepekaan istimewa kita terhadap nasib mereka yang harkat manusiawinya terancam atau dilanggar.
Dengan kata lain, kita berbicara tentang doa kita, komunitas kita, dan kerasulan kita, yang adalah ungkapan hidup bakti kita, cara kita mencari Tuhan, dan besarnya kasih kita terhadapNya. “Seluruh kehidupan kita berpangkal dan bersumber pada tiga nasehat injil ketaatan, kemiskinan dan kemurnian. Itulah sifat eksklusif hidup religius yang kita ungkapkan dengan trikaul” (Konst. N° 11).
Menghayati hidup bakti, dan karenanya terikat oleh kaul-kaul, merupakan cara mencari Tuhan, dan hal ini menentukan pendekatan kita terhadapNya, terhadap sesama kita, dan terhadap dunia secara mendasar. Pada bagian ini, saya ingin menganalisa hal ini secara lebih rinci. Doa kita sebagai ungkapan relasi kita dengan Tuhan, hidup komunitas kita sebagai ungkapan relasi kita dengan sesama kita, dan kerasulan kita sebagai ungkapan keprihatinan kita terhadap dunia sekitar kita dimana kita hidup.
Kita mulai dengan relasi kita dengan Tuhan bagi siapa kita ingin menyediakan tempat di dalam hati kita. Cara kita berdoa mirip dengan cara berdoa setiap orang kristiani: Dengan setia kita membuka diri terhadap kasih Allah yang maha besar terhadap kita, dan menjawabnya dengan kasih kita sendiri. Tuhan mengambil prakarsa, lalu terserah kepada kita untuk meruntuhkan pertahanan kita jika kita ingin memanfaatkan kasihNya. Usaha kita antara lain mengosongkan diri dari segala sesuatu yang menutup hati kita terhadap Tuhan. Kita mampu melakukannya, jika kita mengikuti Kristus sendiri yang telah menunjukkan melalui hidupnya: sikap manakah yang tepat dan harus kita ambil agar kita dapat mendekati Tuhan dengan pantas.
Saya ingin membahas enam topik tentang doa: 1) dari sikap dasar yang sama seperti Yesus; 2) dengan membuka diri secara total terhadap kasih Allah; 3) sebagaimana diungkapkan dalam Vita Consecrata; 4) dan dalam Konstitusi kita; 5) menurut teladan St. Vinsensius Paulo; 6) dan teladan pendiri kita, Rama Triest.
5.1. Dari sikap dasar yang sama seperti Yesus Kristus
Setiap Sabtu sore Gereja mendoakan madah kepada Kristus yang ditulis oleh St. Paulus dalam suratnya kepada umat di Filipi (Fil 2:6-11) yakni: “Kristus Yesus, walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepadaNya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: ‘Yesus Kristus adalah Tuhan,’ bagi kemuliaan Allah Bapa!”
St. Paulus memandang Yesus sebagai contoh sikap yang harus kita ambil, suatu sikap pengosongan diri. Pengosongan diri, yang sering dirumuskan oleh Yesus dalam paradoks terkenal sbb: “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya” (Mrk. 9:35). “Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan, dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Luk. 18:14).
Pengosongan diri yang juga merupakan salah satu tema “Maginifcat” dimana Maria mengungkapkan sikap dasarnya: “Ia memperlihatkan kuasaNya dengan perbuatan tanganNya dan menceraiberaikan orang-orang yang congkak hatinya; Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa; Ia menolong Israel hambaNya, karena Ia mengingat rahmatNya ...” (Luk. 1:51-55).
Pengosongan diri yang sama juga muncul sebagai suatu paradoks dalam analisis St. Paulus tentang kelemahan: “’Cukuplah kasih karuniaKu bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasaKu menjadi sempurna.’ Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat” (II Kor 12:9-10).
Dalam semua teks ini, pesan hakikinya ialah “siapapun yang ingin mendapatkan hidup sejati haruslah meninggalkan hidupnya yang setengah-setengah, mengosongkan diri, memikul salibnya, dang mengikuti Dia!” Jika kita ingin berbicara dengan penuh makna tentang doa, maka kita pertama-tama harus berbicara tentang sikap dasar ini yang hakiki jika kita ingin memungkinkan diri untuk berdoa. Apa yang dibahas dalam semua teks ini ialah bahwa kita, sama seperti Yesus dan dengan mengikuti teladanNya, haruslah mengosongkan diri kita sendiri dari segala sesuatu yang membuat kita puas diri dan mencegah kita untuk menghargai kasih Allah, untuk mencapai suatu hidup sejati sepenuhnya, untuk menemukan siapa diri kita sebenarnya.
Kita semua mencari pemenuhan hidup, penguatan diri menurut istilah Maslow, pemenuhan diri. Gambaran yang kita miliki tentang manusia kontemporer seringkali berupa orang yang terpusat pada diri sendiri, angkuh, dan puas diri serta yang berpura-pura tidak terjangkau, yang puas dengan dirinya sendiri, dan hanya membutuhkan sesama untuk menguatkan “kebesaran” atau “superioritas”nya. Dia penuh dengan dirinya sendiri, dengan pengetahuan, harta-benda, kenikmatan sebagai suatu materi pemuasan nafsu-nafsu pikirannya, dan sebagai suatu reaksi terhadap dorongan untuk memuaskan nafsu-nafsunya. Kata inti dalam benak orang yang puas diri itu ialah “kuasa”: kuasa untuk menyetir hidup seseorang ke arah tertentu, kuasa untuk mengembangkannya lagi, kuasa untuk menentukan dengan siapa seseorang ingin menjalin relasi, kuasa atas sesama karena dia tahu dan memiliki lebih banyak lagi. Semuanya yang merusak kuasa itu atau mengaburkannya harus dilawan dengan gigih.
Dalam konteks ini adalah mudah untuk memahami keinginan untuk menciptakan suatu kerangka kerja legal atas eutanasia: nafsu untuk menguasai semua momen kehidupan, termasuk akhir hayat seseorang. Pada relaitas itulah Yesus bereaksi dengan ungkapannya yang terkenal: “Barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya!” (Mat. 10:39). Dengan kata lain, kita harus mengosongkan diri dan mengikuti Yesus. St. Paulus pada gilirannya menyusun ringkasan tentang hidup Yesus secara luar biasa dalam Madah Kristus, suatu madah yang begitu dinamis. Ada gerakan ke bawah: Yesus yang memiliki kekuasaan sebagai Tuhan, meninggalkan kekuasaannya itu dengan menjadi manusia, dengan menghadirkan diri sebagai hamba, abdi, dan dengan menghancurkan diriNya sendiri melalui maut di kayu salib.
Justru dari kedalaman inilah Yesus sepenuhnya menjadi Dia yang sesungguhnya, yakni Allah manusiawi. Hal ini menjelaskan mengapa Ia patut menerima segala hormat karena Tuhan menjadi nyata dalam diriNya, dan kita boleh berseru: Yesus Kristus adalah Tuhan. Ini merupakan gerakan ke atas.
Dalam gerakan inilah, baik ke bawah maupun ke atas, yang harus kita lalui jika kita ingin mencapai kehidupan sepenuhnya, jika kita ingin menjadi diri kita sendiri, jika kita ingin menjadi diri kita sesungguhnya sesuai dengan apa yang tampak di mata kita, dalam realitas Tuhan, yakni anak-anak yang diciptakan dan dikasihi oleh Tuhan. Untuk menjadi makhluk rohani, kita harus memiliki sikap kontemplatif yang mendasar yang tak lain ialah sikap dasar pengosongan diri. Pengosongan diri dari segala yang tidak ilahi, sehingga yang ada hanyalah ciptaan budi dan hati kita. Dan ini sangatlah banyak!
Kita hidup dalam ilusi mampu menangkap segala sesuatu dengan budi kita. Sains mengklaim memiliki kuasa atas manusia dan ciptaan. Kaum psikolog mengklaim mampu menggambarkan peta jiwa manusia. Mereka berkata bahwa daya kehendak memungkinkan kita mengontrol secara total diri kita sendiri (kita tidak boleh lemah, kita mengingkari kelemahan kita sendiri). Kita hidup dalam ilusi tsb. sehingga hati kita, dengan segala hasrat dan keinginannya, dapat terpenuhi sepenuhnya. Memuaskan hasrat-hasrat ini, dengan menghayati kenikmatan, dengan menimbun kebaikan-kebaikan, dan dengan membangun relasi-relasi baru, tampaknya menjadi satu-satunya jalan pemenuhan hidup kita selengkapnya.
Dimensi rohani inilah yang dikuburkan kapan saja kita mengisi diri sendiri dengan aktivitas-aktivitas budi dan hati. Kita dapat mempelajari dari meditasi Timur, yang tujuan sentralnya ialah berkembang dalam keheningan dan mengosongkan diri sendiri sepenuhnya sehingga baik roh maupun hati terus memimpin hidup kita. Salah satu metode yang disetujui ialah dengan mengucapkan sebuah mantra, suatu kata atau kalimat pendek, yang kita ulang-ulang, hingga ini mulai menghantarkan hidup ke dalam hati kita. Pada momen itulah, benak kita dimurnikan dan hati kita terbuka, hasrat-hasrat kita ditenangkan, sehingga Tuhan, dengan kasihNya, dapat memasukinya. Apa yang merupakan tujuan akhir di dunia Timur, yakni menempati kekosongan itu, bagi seorang kristiani justru menjadi langkah lanjutan yang perlu untuk sampai pada doa.
Seorang manusia rohani ialah dia yang melalui meditasi mampu berhubungan dengan kasih Tuhan dan mampu melihat serta melakukan segala sesuatu yang berawal dari kasih tsb. Itulah apa yang dimaksud dengan berdoa terus-menerus sebagaimana kita diajak untuk melaksanakannya. Dengan menghayati sabda Tuhan, sabda itu dapat menjadi kediaman kita. Pada momen itu, hati dan pikirkan kita disatukan dan ditempatkan dibawah kepemimpinan kasih. Kasih itulah yang menjadi inti doa-doa kita.
5.2. Terbuka sepenuhnya terhadap kasih Tuhan
John Main (1926-1982), rahib Benediktin yang menjadi terkenal berkat beberapa bukunya tentang “meditasi kristiani” menulis sbb.: “Selama kita menganggap iman kita sebagai gerakan manusiawi yang terarah pada Tuhan, kita akan tetap terfokus pada diri sendiri, dan terikat pada dunia ini. Tetapi jika kita mulai melihatnya sebagai suatu gerakan Tuhan yang terarah pada manusia, kita akan menemukan bahwa kita menjadi bagian dari gerakan itu, dan akan mengangkat diri kita sendiri pada kedalamannya, dan kembali kepada Allah Bapa kita melalui PuteraNya. Nama lain dari gerakan ini ialah kasih.”
Perintah kasih yang Yesus berikan kepada kita haruslah dipandang sebagai suatu jawaban terhadap kasih Tuhan, yang adalah terutama dan pertama. Tuhan memang adalah Allah yang mengundang, sebagaimana digambarkan secara bagus sekali dalam kisah bapak penuh belas kasihan yang memandang ke luar untuk mencari anaknya yang hilang, atau dalam kisah tentang gembala yang dengan penuh hasrat mencari-cari dombanya yang hilang.
Perintah kasih: “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat. 22:37-39), adalah jawaban dari apa yang dikatakan Yohanes tentang kasih: “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus AnakNya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (I Yoh 4:10).
Kita sebenarnya dapat berkata bahwa kasih Tuhan harus mendorong kita untuk mengasihi Tuhan dan sesama kita. Mungkin sebaiknya kita menyimak keseluruhan pernyataan dari Surat Yohanes ini: “Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih. Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus AnakNya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup olehNya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus AnakNya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. Saudara-saudarakuyang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi” (I Yoh 4:7-11).
Tuhanlah yang mengasihi kita apa adanya, bukan sebagaimana kita seharusnya, tanpa syarat, dan yang ingin membimbing kita kepada kehidupan yang dihayati sepenuhnya, suatu kehidupan yang berbuah banyak, kehidupan yang penuh dengan kegembiraan. Dan jawaban kita hanyalah dapat berupa kasih: kasih akan Tuhan, kasih akan sesama kita, bagi setiap manusia dimana Tuhan hadir di dalamnya. Jadi karitas dan kasih Tuhan dianggap setara, karena keduanya merupakan jawaban terhadap ajakan kasih Tuhan, dan karena Tuhan yang kita sembah dalam sakramen adalah Tuhan yang sama yang secara istimewa dapat kita jumpai dalam sesama kita yang merupakan jelmaanNya.
Sekali lagi St. Yohanes Penginjil menandaskan tentang hal ini: “Jikalau seorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah,’ dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudara-saudaranya” (I Yoh. 4:20-21). Kasih tak bersyarat, yang kita terima dari Tuhan, harus dibalas dengan kasih tak bersyarat akan Tuhan dan akan sesama kita. Sifat tak bersyarat ini diperkuat dengan perintah yang mengharuskan kita mengasihi musuh-musuh kita: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat. 5:44).
Sebenarnya kita dapat berkata bahwa kualitas kasih kita harus diukur dengan jumlah kasih yang kita berikan kepada musuh-musuh kita. Ini menjadikan perintah kasih itu suatu tugas yang sangat radikal dan tak terbatas, suatu tugas yang mengatasi kekuatan manusiawi. Oleh karena itu kita mengerti benar mengapa dulu para rasul bertanya kepada Yesus: “Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?” (Mat. 19:25). Dan kita tahu bahwa Yesus menjawab: “Bagi manusia hal ini tidak mungkin, tetapi bagi Allah segala sesuatunya mungkin” (Mat. 19:26).
Tuhanlah yang membuat kita mampu mengasihi dengan kasihNya. Dia memberi kita daya untuk mengasihi tanpa syarat dan tanpa ukuran. Wajarlah jika kita harus membuka diri bagi kasih Tuhan, dan harus berdoa demi kasihNya sehingga kita mampu mengasihi. Penalaran semacam ini tepat tetapi juga tidak tepat. Tepat karena memang kita hanya dapat mengasihi dengan cara ilahi berkat kasih Tuhan terhadap kita. Tidak tepat karena bahayalah mengubah kasih Tuhan menjadi semacam instrumen yang berguna. Kasih Tuhan dalam hal ini menjadi ternoda karena diserahkan kepada prinsip kegunaan, padahal kasihNya selalu lebih besar!
Disini tepat sekali untuk merenungkan cara kita berdoa. Bukankah doa kita selalu bertujuan memperoleh karunia tertentu: rahmat demi kehidupan yang lebih baik, kekuatan untuk mampu benar-benar mengasihi atau untuk mengubah dunia, dll. Bila kita berdoa secara eksklusif seperti itu, maka kita sangatlah jauh dari hakekat doa sesungguhnya, yakni: membuka diri terhadap kasih Tuhan berdasarkan sikap kasih.
Namun apakah hal itu tidak berarti bahwa kita tidak dapat berdoa kepada Tuhan, memohon kepadaNya untuk memberi kita rahmat dan kekuatan. Namun, permohonan yang mendesak itu haruslah didahului dengan doa yang nyata kepada Tuhan. Sekali lagi St. Paulus menegaskannya sbb.: “Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan” (Rom 8:26). Dan apa lagi Roh tsb. selain kasih Tuhan terhadap manusia? Berkat kasih Tuhan sajalah maka kita benar-benar dapat berdoa.
Kita mungkin terkesima melihat begitu banyaknya orang yang tiba-tiba berkumpul untuk berdoa menanggapi kejadian serangan 11 September 2001, dan gereja-gereja sekarang tiba-tiba dipenuhi dengan umat kembali. Apakah fenomena itu tidak diilhami oleh semacam prinsip kegunaan? Hanya bila kita sebagai manusia tidak dapat mengatasi masalah maka kita berseru kepada Tuhan. Tuhan terlibat dalam segalanya, dalam seluruh realitas hidup kita, asalkan Dia juga menjadi realitas sepenuhnya dalam hidup kita. Bila kita mengosongkan hati dari segala yang tak ada urusannya dengan Tuhan, dan membiarkan diri kita terpenuhi oleh kasihNya, maka hanya dengan cara demikian sajalah kita dapat mendekati seluruh realitas dalam kasihNya.
St. Bernardus dari Clairveaux bergulat dengan pertanyaan itu pula. Mengapa kita harus mengasihi Tuhan jika kita tidak dapat atau tidak boleh melakukannya demi keuntungan diri kita sendiri? Dalam bukunya berjudul “De Diligende Deo” artinya “Tuhan Untuk Dicinta”, dia membuat Kardinal Haimeric tertegun memikirkan apa alasan dan bagaimana kita harus mengasihi Tuhan? Dia menjawab dengan sangat tepat: “Tuhan sendirilah alasan mengapa kita harus mengasihi Dia, tanpa batas merupakan cara kita harus mengasihiNya.” Kita harus mengasihi Tuhan, karena Dia telah menciptakan kita, karena Dialah Bapa kita, karena Dia telah mengutus PuteraNya untuk membebaskan kita, karena dialah dasar eksistensi kita, dan karena Dia menjumpai kita dengan kasihNya. Kita harus mengasihi Tuhan karena Dia mengasihi kita terlebih dahulu, dan meminta kita untuk melengkapi kasihNya dengan kasih kita sendiri. Cara kita harus mengasihiNya ialah “tanpa batas”, tanpa intensi lain yang tidak berkaitan dengan Tuhan, batasnya ialah ketidakterbatasan”, tidak bersyarat mengikuti teladan kasih Tuhan sendiri. “Batas kasih ialah kasih yang tak terbatas,” begitu kesimpulan St. Bernardus.
Rama dari Ars, St. Yohanes Maria Vianney, mempunyai seorang petani di antara umatnya yang datang ke gereja setiap hari untuk berdoa selama berjam-jam. Dia duduk di situ dengan tenang. Ketika Rm. Vianney bertanya kepadanya: “Anda sedang apa di sini?”, petani itu menjawab, “Saya memandang Dia, dan Dia memandang saya.” Bagi saya, inilah salah satu definisi doa yang terindah, yakni kontemplasi.
Berdoa ialah mendengarkan Tuhan berbicara dalam keheningan, seperti apa yang dikatakan kepada para rasul di atas Gunung Tabor, dan tetap berjaga bersama Tuhan, sebagaimana diminta kepada mereka di Getsemani. Sekali lagi kita melihat betapa sukarnya hal ini: mereka tidak mendengarkan, tetapi malah mulai berbicara, mengusulkan untuk bekerja, mendirikan tenda-tenda, dan mereka tidak berjaga, tetapi malah tertidur pulas.
Ibu Teresa menambahkan: “Kita hanya dapat menjawab secara positif terhadap permintaan Kristus yang terakhir ‘Aku haus,’ jika kita tetap berjaga bersama dia di Taman Zaitun. Saat dimana kita menolong dan mengasihi kaum miskin akan berbuah banyak jika didahului dengan saat adorasi. Jika kita belum bertemu dengan Tuhan dalam adorasi Sakramen Kudus, kita akan sulit menemuiNya dalam diri kaum miskin dan sakit.”
Ringkasnya, kita boleh berkata bahwa: Hanya jika kita mengosongkan diri, kita dapat mencapai posisi yang tepat untuk menerima kasih Tuhan. Satu-satunya jawaban ialah memberikan kasih kita untuk memenuhi kasihNya. Dan kasih ini memungkinkan kita mengasihi secara ilahi: tanpa syarat dan tanpa batas. Doa sebagai tanggapan kita dengan kasih terhadap kasih Tuhan, merupakan tujuan tersendiri, namun ini juga memungkinkan kita untuk menjadi manusia yang penuh kasih.
5.3. Sebagaimana terungkap dalam “Vita Consacrata”
Sebagai suatu gambaran tentang hidup bakti, kita diberi kisah tentang pemuliaan Tuhan di Gunung Tabor. Pada bab pertama kita baca: “Basis injili hidup bakti harus dicari dalam relasi khusus yang dijalin oleh Yesus dalam kehidupannya di dunia ini dengan para muridNya” (VC N° 14). Ketiga rasul itu diajak untuk menyaksikan pemuliaan di tengah kontemplasi, dan diberi pesan: “Inilah Anak Kukasihi, kepadaNyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia” (Mat. 17:5). Prakarsa Tuhanlah yang memuliakan. “Pengalaman kasih Tuhan yang indah ini begitu mendalam dan penuh kuasa sehingga orang yang terpanggil merasa perlu untuk menanggapinya dengan mendedikasikan hidupnya kepada Tuhan tanpa syarat, dengan mempersembahkan kepadaNya segala sesuatu kini dan kelak, dan menempatkannya di tanganNya” (VC N° 17).
Hidup bakti merupakan jalan hidup yang mengajak manusia membuka diri sepenuhnya terhadap undangan kasih Tuhan. Sikap dasar pengosongan diri dan mengasihi yang telah kita bahas di muka, sikap dasar doa, yang menjadi basis hidup bakti. Hal-hal yang lain berasal darinya.
“Pada wajah Yesus, ‘citra Allah yang tak kelihatan’ (Kol:15) dan cermin kemuliaan Bapa (cf. Ibr 1:3), kita melihat sekilas kasih yang abadi dan tak terbatas yang ada pada asal-usul keberadaan kita. Mereka yang membiarkan diri ditangkap oleh kasih ini mau tidak mau terdorong untuk meninggalkan segalanya untuk mengikuti Dia (VC N° 18).”
Ide tentang “mendengarkan Dia” yang dimunculkan pada kontemplasi di Gunung, menjadi suatu ajakan untuk menyesuaikan kehidupan kita dengan Yesus dan mengikuti teladanNya dalam segala sesuatu.
“Tiba-tiba turunlah awan yang terang menaungi mereka” (Mat. 17:5). Roh Kudus, yang menampakkan diri sebagai awan yang terang dalam kehidupan kita, menjadikan kita identik dengan Kristus, dan membimbing kita dalam pencarian kita untuk menjadi semakin dekat denganNya. Roh Tuhanlah yang berdoa dalam diri kita (Rom. 8:26), sebagaimana kami jelaskan di muka. Roh ini pulalah yang membimbing kita kepada sesama untuk membagikan kasih kita bersamanya. “Roh yang sama, yang tidak mengalihkan mereka yang dipanggil oleh Bapa dari hidup kemanusiaan, menempatkan mereka pada pelayanan saudara-saudari mereka sesuai dengan keadaan hidup mereka yang khusus, dan yang menghilhami mereka untuk menangani tugas-tugas khusus sebagai tanggapan terhadap kebutuhan Gereja dan dunia, dengan sarana karisma-karisma yang sesuai untuk aneka Lembaga” (VC N° 19).
Kerasulan kita hanyalah disebut kerasulan jika diilhami oleh Roh, dengan kata lain, jika didukung oleh doa. Kerasulan kita merupakan suatu konsekuensi logis dari doa-doa kita, dimana kasih Tuhan dan kasih sesama kita menjadi saling terjalin, dimana karitas adalah konsekuensi dari kasih kita terhadap Tuhan.
Hubungan yang paling menyolok juga terbentuk antara nasihat-nasihat Injil dan doa, kasih ilahi, dan karya Tritunggal Yang Mahakudus. “Hidup Bakti mewartakan apa yang dikerjakan oleh Bapa, melalui PuteraNya dan dalam Roh Kudus, tentang kasih, kebaikan, dan keindahanNya” (VC N° 20). Jadi, kemurnian merupakan refleksi dari kasih abadi yang mempersatukan ketiga Pribadi Ilahi. Dengan hati yang satu dan sama inilah kita ingin mengasihi Tuhan. Kemiskinan mengakui bahwa Tuhan adalah satu-satunya kekayaan yang benar dalam hidup manusia. Allah sendirilah yang dapat benar-benar memenuhi kehidupan. Dengan bersikap taat, kita meneladan Yesus, yang dengan gembira memenuhi kehendak BapaNya, sebagai tanda dan konsekuensi dari kasih yang abadi.
Di luar relasi kasih antara Tritunggal Mahakudus dan orang-orang yang membaktikan diri nasihat-nasihat injili kehilangan motivasi, tujuan dan kekuatannya. Mereka lebih dari sekedar bagian-bagian dari nasihat-nasihat praktis, yang memiliki konsekuensi positif bagi cara hidup dan karya kita, tetapi pada intinya ini merupakan ungkapan-ungkapan kasih Allah, dan sebenarnya juga eksteriorisasi, realisasi dari doa-doa kita dalam hidup konkrit.
Ketiga rasul yang sama, yang telah menyaksikan pemuliaan Kristus di atas Gunung, juga diundang untuk mengikutiNya ke Getsemani. Mereka diminta untuk “Berjaga-jagalah bersama Aku” (Mat. 24:38). Ini membuktikan bahwa ‘Dengarkanlah Dia’ dan ‘Berjaga-jagalah bersama Aku’ merupakan bahan-bahan doa kita yang mendasar.
Kita menyimpulkan pembahasan ‘Vita Consacrata’ ini dengan sejumlah kalimat pendorong semangat yang kuat untuk berdoa. “Sebenarnya panggilan orang-orang yang membaktikan diri pertama-tama ialah mencari Kerajaan Tuhan dan terutama merupakan panggilan untuk melengkapi pertobatan, dalam penyangkalan diri, agar hidup sepenuhnya bagi Tuhan, sehingga Tuhan menjadi segalanya dalam segalanya” (VC N° 35). “Panggilan menuju kesucian diterima dan hanya dapat ditanamkan dalam keheningan adorasi di hadapan kebesaran tak terbatas dari Allah” (VC N° 38). Semoga kini menjadi jelas bagi kita bahwa doa merupakan landasan sejati hidup bakti.
5.4. Dalam Konstitusi kita
Bab ketujuh Konstitusi kita ditujukan pada doa. Judulnya ialah ‘Akrab Dengan Tuhan.’ Yang sangat berharga dalam konteks ini ialah komentar-komentar Br. Waldebert tentang konstitusi.
Konstitusi N° 57 menyoroti tentang doa sebagai Bruder Karitas: “Panggilan religius memberikan warna khas kepada doa kita. Berkat serah diri total kepada Bapa, kekuatan Roh yang telah dikurniakan kepada kita dapat bekerja dengan leluasa. Dari jurang kemalangan dan kelemahan kita menengadah kepada Kristus. Maka kita mulai berbagi kemurahan, pengertian dan kepedulianNya akan sesama. Dalam hati Yesus kita mementingkan segala kebutuhan dunia ini. Doa kita sebagai Bruder Karitas masih mempunyai segi lain lagi. Kebutuhan orang asuhan akan pembebasan dari belenggu cacat kita ajukan kepada Tuhan. Dalam doa kita ikut merasakan nestapa sekian banyak orang yang hidup dalam situasi yang memprihatinkan. Sering pula kita berdoa bagi orang asuhan yang tak mampu berdoa sendiri. Maka doa berpadu dengan laku kerasulan kita.”
Walaupun demikian, nomor ini tidak boleh dipandang terpisah dari nomor-nomor lainnya yang menyinggung hal doa.
Konstitusi N° 48 menekankan pentingnya keheningan dalam hidup sebagai prasarat yang harus dipenuhi untuk sampai pada doa. “Kadang-kadang kita mengheningkan cipta sambil menjauhi kesibukan mencengkam dari hidup sehari-hari.” Menanamkan sikap dasar pengosongan diri yang perlu ini merupakan basis doa.
Lalu kita menelaah bagaimana kita sebagai bruder dapat berdoa. Kita diajak berdoa bersama Gereja. Doa-doa gerejani diorganisir menurut tahun liturgis. Kita ingin mengilhami doa kita. “Dengarkanlah Dia” mengajak kita mengambil Sabda Tuhan, mendoakan Mazmur-mazmur, dan menyediakan waktu untuk meditasi.
Kita berdoa bersama Maria, dengan gembira kita membiarkan Maria, perintis kaum beriman, mendampingi kita. Di antara semua orang kudus yang mendahului kita dalam iman kita dan mengilhami kita, kita secara khusus mementingkan St. Vinsensius dan St. Yosef.
Doa kita merupakan bagian dari kristianitas kita, sedangkan sakramen-sakramen, seperti permandian dan penguatan merupakan basis, dan sakramen pengampunan dan Ekaristi merupakan kesempatan abadi untuk berjumpa dengan Tuhan sebagai Bapa yang maha kasih dan pengampun, Tuhan Sang pembebas dan yang bangkit dalam Yesus Puteranya. Oleh karena itu, Bruder Karitas boleh berharap untuk berkontak dengan Tuhan, yang merupakan sumber hidup, melalui hidup sakramental.
Ini membawa kita pada Konstitusi N° 57, dimana berdoa sebagai Bruder Karitas dijabarkan sbb. “Panggilan religius memberikan warna khas kepada doa kita”. Bagi seorang religius yang secara istimewa berkontak dengan Tuhan, doa merupakan nafas hidup yang sejati. Semoga kekuatan Roh Kudus mendorong terwujudnya suatu terobosan dalam hidup kita dan mengilhami diri kita seluruhnya.
Kristus menjadi teladan yang harus kita ikuti, namun agaknya mustahil bila kita akan mampu memahami sepenuhnya kepenuhan hidup Kristus untuk berhasil mengikuti teladannya secara benar dan sempurna. Kerasulan kita diwarnai dan dibentuk oleh Kitab Suci dan nasihat Injili. Ide sentralnya ialah kasih Yesus, yang membuatNya mengasihi semua tanpa kecuali, dan khususnya kaum miskin, dan mereka yang ditelantarkan oleh masyarakat. Dari Hati Yesus yang pengasihlah kita mendekati realitas secara keseluruhan. Kasih Tuhanlah yang menjadi karitas.
“Doa kita sebagai Bruder Karitas masih mempunyai segi lain lagi.” Relasi kita dengan kaum miskin menjadi alasan dan tujuan doa kita. Bila kita mendekati kaum miskin dan mengasihi mereka, maka kita melihat Kristus sendiri pada wajah mereka. Kristus mengidentifikasikan diriNya dengan kaum miskin (bdk. Mat. 25), dan kaum miskin menjadi perwujudan pribadi Kristus. Kasih yang disampaikan kepada kaum miskin merupakan kelanjutan doa kita. Kasih menjadi doa bila kita memandang karya kita sebagai konsekuensi dari doa kita. Lalu karya kita menjadi kerasulan, dan kerasulan kita menjadi doa. Kaum miskin juga merupakan suatu ajakan untuk berdoa, untuk menyertakan mereka dalam doa-doa kita. Segala rasa sakit, penderitaan, dan kelemahan yang kita hadapi dalam karya kerasulan kita, dan yang hanya dapat kita rumuskan dengan jawaban yang tidak memadai, terobati oleh doa-doa kita. Tidaklah mengherankan bahwa karya-karya karitas disempurnakan dalam doa bagi mereka yang masih hidup dan yang telah meninggal. Mereka yang telah berusaha mengobati penyakit fisik dan mental orang banyak harus mengakui bahwa upaya mereka umumnya belumlah memadai. Kemampuan kita sangat kurang untuk membantu orang-orang tertentu secara memadai atau mencukupi. Ada jenis-jenis penderitaan yang melampaui kapasitas kita untuk menyembuhkan atau meringankannya. Semuanya itu tidaklah boleh melemahkan semangat kita, namun hendaklah membuat kita rendah hati, dan mengembalikan kita ke posisi yang seharusnya kita tempati: yakni sebagai alat Tuhan. Oleh karena itu, kita boleh berdoa: “Selesaikanlah karya baik yang telah Kau mulai dalam diri kami!” (bdk. Fil. 1:6; I Tes 5:24).
Akhirnya, marilah kita membaca Konstitusi N° 58 dan 59 yang menggambarkan dengan bagus sekali apa artinya berdoa terus-menerus, dan memberitahu kita bagaimana kita dapat mengubah hidup kita menjadi suatu kidung pujian yang panjang terhadap Allah Bapa kita. Ini merupakan suatu impian panggilan kita. Jika kita ingin menjadi kaum rohani yang sejati, maka kita harus suka dan berhasrat kuat untuk tinggal bersama Tuhan. Hal ini mengingatkan saya pada teks St. Theresia Avilla yang sangat indah: “Semoga tak satupun hal menggelisahkanmu, tak satupun mengilhami kamu dengan ketakutan atas segala yang berlangsung. Tuhan tidaklah berubah. Sabarlah maka kamu akan menerima karunia. Dengan memiliki Tuhan, kita tak kekurangan sesuatupun. Tuhan saja sudah cukup!” Semoga kita menjadi bruder-bruder yang dapat sepenuhnya menguatkan hal ini.
5.5. Mengikuti teladan St. Vinsensius Paulo.
Sebagai Bruder Karitas kita ingin belajar dari St. Vinsensius Paulo dan berpikir apa yang dia biasa katakan tentang doa dan bagaimana dia sendiri biasa berdoa?
5.5.1. St. Vinsensius terbuka terhadap panggilan Tuhan dalam hidupnya, dan dia mendengarkan Tuhan dalam situasi-situasi sehari-hari.
Sebagai seorang imam muda, dia dikecewakan oleh pengalaman hidupnya. Rencana-rencananya untuk mengejar karir yang sukses dan hidup yang bahagia digagalkan oleh pelbagai kejadian. Tuhan menggunakan kekecewaan tsb. untuk membaharui Vinsensius, dan akhirnya mentobatkan dia. Ini juga berarti awal perkembangan spiritualitasnya yang tepat, dimana Vinsensius menemukan Tuhan yang sangat dekat dengan realitas. Maka ia mengembangkan spiritualitas inkarnasi, yang sangat berbeda dari apa yang umumnya diharapkan dari spiritualitas pada jamannya. Oleh karena itu dapatlah dimengerti bahwa spiritualitas Vinsensian pada mulanya tidak dianggap serius, khususnya karna masyarakat pada saat itu terikat pada “spiritualitas padang gurun.” Namun biar bagaimanapun ada orang-orang yang membantu St. Vinsensius memperluas hidup rohaninya. De Bérulle dan St. Fransiskus Sales adalah dua tokoh yang memainkan peranan penting dalam hidup rohani St. Vinsensius. De Bérulle menjalin relasi yang sangat “pribadi” antara Vinsensius dan Tuhan, dan mendesak dia untuk lebih mengundurkan diri dari kehidupan umum, sementara Fransiskus Sales menjadikan karitas kelanjutan kasihnya kepada Tuhan. Boleh dikata Tuhan menggunakan kedua pemimpin rohani ini dalam proses pertobatan St. Vinsensius. Namun, terobosan sesungguhnya dicetuskan oleh konfrontasi dengan kaum miskin. Baik kaum miskin spiritual maupun material membantu St. Vinsensius menemukan Kristus yang lain: Kristus yang solider dengan kaum miskin dan mengidentifikasikan diri dengan mereka. Baginya kutipan Injil Matius (Mat. 25:40) menjadi nyata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Kaum miskin menjadi tempat pertemuan Tuhan dan para pengajar yang benar yang dapat mempengaruhi sisa hidupnya.
Vinsensius mendengarkan Tuhan melalui keadaan hidupnya, melalui bimbingan rohaninya, tetapi yang terlebih berkat kaum miskin.
5.5.2. Jika kita mempelajari doa Vinsensius secara lebih rinci, kita menemukan tiga hal istimewa. Dia sangat mementingkan doa sebagai basis bagi segalanya. Doanya berubah menjadi doa yang terinkarnasi, dan dia merangsang pertukaran pengalaman doa sebagai semacam bentuk istimewa dari doa secara keseluruhan.
Vinsensius menjadi seorang manusia doa yang nyata dan menghabiskan banyak waktunya untuk berdoa, dan yang secara tak henti-hentinya mengajak sesamanya untuk berdoa.
“Kalian dan aku harus mengambil keputusan tegas untuk tidak melewatkan meditasi harian sekalipun. Setiap hari, kita harus berdoa! Sekiranya mungkin, aku minta agar kalian tidak sekali-kali memotong doa kalian, bahwa kalian harus berdoa tak kunjung henti, artinya bahwa kalian harus selalu berkontak dengan Tuhan. ‘Tetapi,’ aku yakin kalian akan berkata, ‘pada saat berdoa, saya tidak dapat menyiapkan obat, mengunjungi kaum miskin, atau berkontak dengan wanita-wanita itu.’ Doa tidaklah harus menghentikan kalian melaksanakan hal-hal itu, karena kalian sendiri tinggal dalam Tuhan dan berbicara denganNya.”
“Apa itu berdoa? Berdoa ialah mengangkat roh kalian kepada Tuhan untuk membuktikan cinta kalian kepadaNya. Tuhan tinggal bersama, dan berada di rumah dengan seseorang yang ia kasihi. Ia tinggal di dalamnya. Jika kalian mengasihi Kristus, kalian menjadi rumah Bapa, Putera, dan Roh Kudus, dimana Bapa menurunkan PuteraNya secara kontinu, dimana baik Bapa maupun Putera menurunkan Roh Kudus.”
“Kita masuk kedalam kasih itu, dan membangun rumah kita di dalamnya. Ini merupakan suatu persatuan kasih dimana kita membiarkan Tuhan mengalami kasih kita.”
“Sementara bermeditasi, kita melihat diri kita sendiri dalam Tuhan, dengan jelas kita melihat betapa kecil dan lemahnya kita. Di sana kita mencoba menjadi apa yang Tuhan inginkan dari kita. Tuhan tak henti-hentinya berbicara, secara mendalam di hati kita. Kalian harus memperhatikan pada suaraNya saja yang memberitahu kita dimana hati kita terikat.”
Dari teks ini dan teks lainnya tampaklah bagaimana Vinsensius menjalani hidup doa yang begitu mendalam dan menganggap doanya sebagai suatu relasi kasih dengan Tuhan. Doanya menjadi bentuk doa yang terinkarnasi, yang mungkin merupakan aspek khas spiritualitas Vinsensian. Ide tentang “berdoa terus-menerus” menjadi nyata pada diri Vinsensius melalui perjumpaannya dengan Yesus yang terjelma dalam diri kaum miskin. Hal ini juga mengantar pada perkataannya yang terkenal “meninggalkan Tuhan demi Tuhan.”
“Jika orang-orang memanggil kalian dengan mendesak, ketika kalian sedang berdoa, untuk merawat seorang miskin yang jatuh sakit, hentikanlah doamu, atau lebih baik tundalah doamu. Tuhan menuntut hal ini, karena kasih mengatasi segala peraturan. Ini berarti meninggalkan Tuhan demi Tuhan.”
“Jika kalian mengunjungi kaum miskin, sepuluh kali sehari, maka ini berarti kalian mengunjungi Tuhan sepuluh kali sehari pula. Jika kalian mengunjungi budak-budak kapal, kalian akan menemukan Tuhan sendiri, jika kalian mendampingi anak-anak, kalian menjumpai Tuhan. Jika kalian menjenguk daerah kumuh, kalian juga akan menemukan Tuhan.”
“Pandanglah dia dengan mata iman, maka kalian akan menemukan Kristus yang rela menjadi miskin dan menjelmakan dirinya dalam diri kaum miskin.”
Kaum miskin juga menjadi sumber inspirasi doa Vinsensius. Mereka benar-benar adalah pengajar dan gurunya dalam segala bidang.
“Agama yang benar harus dicari di antara kaum miskin. Jika kita ingin menjadi akrab dengan Tuhan, tak ada sikap lain kecuali sikap seorang miskin. Mereka hidup dalam damai dengan diri mereka sendiri. Bagaimana mungkin? Karena mereka memiliki iman. Bagaimana bisa? Karena mereka sederhana.”
Berkenaan dengan Vinsensius, kita berbicara tentang suatu gerakan ganda, yakni menemukan Kristus melalui doa-doa kita, dan berjumpa denganNya di tengah kaum miskin, serta kaum miskinlah yang sekaligus menolong kita Akhirnya Vinsensius sangat menekankan sharing pengalaman doa dan bermeditasi bersama. Dia mengajak para suster dan imamnya dan membimbing mereka dalam meditasi umum.
5.5.3. Kita ingin merefleksikan interaksi unik antara Tuhan dan kaum miskin dalam hidup Vinsensius. Tuhan membawa Vinsensius kepada kaum miskin, dan kaum miskin membawanya kepada Tuhan. Vinsensius menganggap kaum miskin sebagai perantara antara Tuhan dan kita: mereka itu ajakan untuk memaklumkan kasih Tuhan melalui karya amal. Dengan demikian mereka mendapatkan kedudukan sentral dalam doa, yang sepenuhnya terpusat pada kasih Tuhan terhadap kita dan pada jawaban kasih kita kepadaNya.
Oleh sebab itu, Vinsensius dapat berkata bahwa kaum miskin adalah lukisan Kristus. Kita mendekati lukisan ini dengan penuh hormat dan khidmat.
“Kalian tidak boleh menghakimi seorang petani miskin atau isterinya berdasarkan penampilan mereka, atau berdasarkan kemampuan intelektual mereka. Mereka memang tidak begitu menarik karena kekasaran dan kapasitas fisik maupun intelektual mereka. Namun baliklah medali itu, dan dalam terang iman kalian, kalian akan melihat Putera Allah yang rela menjadi miskin dan bersembunyi dalam rupa kaum miskin.”
“Kalau kalian melayani kaum miskin, kalian melayani Kristus sendiri”
5.6. Pendiri kita, Rama Triest
Akhirnya, kita juga ingin belajar dari pendiri kita, Rama Triest, dan mendengarkan apa yang ia harus sampaikan kepada kita tentang doa.
5.6.1. Mengenai Rama Triest kita boleh berkata bahwa dia senantiasa dengan penuh kesadaran memberikan prioritas tertinggi kepada Tuhan dalam segala hal.
Dia berbicara dengan sangat jelas tentang hal ini dalam suatu konferensi untuk upacara penerimaan jubah.
Kita tahu bahwa perintah yang terutama dan terbesar mengatakan bahwa kita harus mengasihi Tuhan dengan segala hidup kita. Bagaimana kita dapat hidup secara lebih sadar sesuai dengan perintah itu? Saya selalu suka membandingkannya dengan altar di kenisah dimana selalu ada api yang terus menerus bernyala siang dan malam. Di sana imam bertugas untuk mengobarkan nyala api ini setiap pagi dengan kayu yang baru. Apakah kalian tidak memikirkan situasi itu yang rupanya mirip dengan kasih kita terhadap Tuhan? Bila kita diminta untuk berdoa terus-menerus supaya tetap berada dalam hadirat tuhan, bukankah hal ini berarti pula bahwa kita terus-menerus menanti-nantikan hidup abadi, dan mendoakannya secara teratur? Bila kita menjauhkan diri dari kesibukan kita sehari-hari dan menyediakan waktu untuk berdoa, kita akan tinggal dalam kasih Tuhan.”
Triest memikirkan mengapa kita harus mengasihi Tuhan dengan segala hidup kita. Pada salah satu khotbahnya, dia memberikan jawaban sbb.:
“Alasan pertama mengapa kita harus berterimakasih kepada Tuhan dan harus mengasihinya ialah bahwa ia telah menciptakan kita dan memberikan kita hidup. Tuhan tidak hanya menciptakan kita dan memberikan hidup kepada kita, namun juga menjaga hidup kita terus-menerus. Alasan lainnya mengapa kita harus mengasihi Tuhan ialah bahwa Dia menjadi manusia untuk kita dan menyelamatkan kita. Kita harus mengasihi Tuhan karena Dia telah mengangkat kita sebagai anak-anakNya; lagipula, Dia telah memberi kita hak atas KerajaanNya. Namun apa yang harus mendorong kita untuk mengasihi Tuhan terutama sekali ialah bahwa Dia mengadakan bagi kita Sakramen Maha Kudus dengan mana Dia memberikan diriNya secara total kepada kita dalam rupa makanan dan minuman. Karena, apa lagi yang dapat diberikan Putera Allah kepada manusia yang fana selain Tubuh dan DarahNya, Tubuh dan JiwaNya, keilahian dan kemanusiaanNya?”
Ekaristi yang Triest sebut sebagai sakramen kasih menduduki tempat sentral. Inilah tanda kasih Tuhan yang teragung.
“Melalui karunia-karunia yang menguntungkan ini kita telah menjadi anak-anak Bapa, sesama pewaris seperti PuteraNya, kenisah Roh Kudus. Kasih Yesus Kristus mencapai titik ekstrimnya. Dia mengadakan suatu sakramen dengan mana ia mengaruniakan kepada manusia keuntungan terbesar: suatu misteri dimana Dia mencampur darahNya dengan darah kita, tubuhNya dengan tubuh kita, dan melalui mana Dia menjadikan setiap pengikutNya Kristus yang lain. ... Sungguh, saudara-saudara terkasih, kasihNya tampak jauh melampaui dalam Sakramen Mahakudus daripada dalam misteri penjelmaanNya. Dalam penjelmaanNya, Dia mengambil rupa manusia, namun dalam Sakramen Mahakudus dia merendahkan dirinya lebih hina lagi daripada umat manusia dengan menjadikannya makanan dan minuman.”
Dan oleh karena itu keputusannya ialah sbb.: “Apakah kalian tidak merasa berhutang budi? Jika Ia telah mewariskan kepada kalian harta yang begitu berharga itu, betapa besar ungkapan terima kasih, kelembutan hati, dan penghormatan yang harus kita balas kepadaNya, khususnya ketika kalian menerima Sakramen Mahakudus! Mengingat sakramen ini adalah sakramen kasih, kita harus mendekatinya dengan kasih pula. Kita harus mengasihi Tuhan yang begitu mengasihi kita! Karena Dia memberikan diriNya sendiri kepada kita, kita harus memberikan diri kita juga kepadaNya. Karena Dia milik kita semuanya, maka kita pun harus menjadi milikNya sepenuhnya.”
Berkat orientasi ekaristi yang begitu kuat inilah maka Rama Triest dapat berdoa: “Oh, Tuhan Maha Pengasih! Hatiku, yang diperkuat dengan rahmatMu, akan bernyala-nyala dengan penuh hasrat akan Dikau!”
5.6.2. Kasih Tuhan, yang pada Triest menjadi satu-satunya isi sempurna dari doa-doanya mendapatkan bentuknya yang khusus dalam Hati Yesus yang penuh kasih, dan dalam rahmat yang Tuhan senantiasa berikan kepada manusia.
Rama Triest adalah seorang pendukung devosi Hati Kudus, karena ia menemukan di dalamnya ungkapan kasih Yesus terhadap umat manusia.
“Jika kalian dikasihi oleh Tuhan, berusahalah untuk menjawab kasihNya dan benar-benar mengasihiNya. Karena kita telah terlebih dahulu dikasihi dan telah dinaungi kasih yang mentakjubkan ini, karena kita telah tertarik oleh kasihNya, oleh karena itu kasihilah Tuhan yang telah menumpahkan darahNya bagi kita sebagai suatu tebusan bagi keselamatan kita dan sebagai suatu peringatan akan sengsara dan wafatNya; sebagai suatu janji akan hidup kekal sehingga kita tertarik oleh kasih dan terdorong untuk mengasihi.”
“Jadi saudara-saudaraku terkasih, kasihilah dan cintailah Hati Yesus, maka segera kalian akan menjadi orang-orang yang penuh dengan semangat demi keselamatanmu sendiri, semangat untuk mendoakan para pendosa, semangat untuk membantu kaum malang dan sengsara, semangat untuk menghancurkan kekuasaan dosa, semangat untuk mempromosikan kerajaan Yesus Kristus.”
Disini Triest menunjukkan hubungan antara kasih Allah dan karitas. Dengan kasih Tuhanlah kita harus dan mampu mengasihi sesama manusia. Kerasulan yang benar muncul dari kontemplasi:
“Untuk menarik perhatian dan belaskasihan seseorang terhadap kaum miskin dan malang, tak ada yang lebih kuat daripada kasih yang merupakan asal dari segala sesuatu. Sungguh, kasih memiliki kemampuan tertentu untuk mendorong seseorang dan mengontrol pikirannya; kasih berbicara dengan begitu fasih sehingga merasuk ke relung-relung hati yang terdalam.
Untuk menggambarkan bahwa Rama Triest menempatkan kasih Tuhan pada pusat eksistensinya, Ia menyarankan, agar kita mendengarkan salah satu doanya:
“Hati Kudus Yesus yang maha pengasih, karena Dikau meminta hatiku, inilah dia, aku menyerahkannya kepadaMu. Engkaulah satu-satunya yang pantas mendapatkannya dan Engkau sendirilah yang dapat membahagiakannya. Aku memberikannya kepadaMu sehingga Engkau dapat menyembuhkannya dari semua luka keangkuhan, keegoisan, keterikatan pada harta-benda duniawi dan terlebih pada diri sendiri, kurangnya kasih terhadap sesamaku, dan dari segala luka-lukanya. Janganlah tinggalkan satu lukapun kecuali luka yang disebabkan oleh kasihMu. Yesus Kristus, Tuhanku, aku hanya menginginkan satu hal saja, yakni suatu tempat di dalam hatiMu.”
5.6.3. Dalam warisan Triest, kita menemukan hubungan yang kuat antara doa dan karya. Sebagaimana telah kita sebutkan di muka, kerasulan yang riil muncul dari kontemplasi. Jadi muncullah visinya bahwa kita harus berdoa terus-menerus.
“Berdoa dan bermeditasilah, untuk mengingatkan bahwa seorang religius tanpa semangat doa itu bak seorang tentara tanpa senjata, seekor burung tanpa sayap, sebuah kota tanpa benteng, suatu tubuh yang tak berjiwa. Tetapkanlah hatimu bahwa tahun ini kamu tidak akan sedikitpun menyia-nyiakan waktu doamu.”
“Tanpa meditasi, pekerjaanmu tidaklah sempurna, tak bermotif atau bermotivasi selain keegoisan, kesia-siaan, cinta diri dan ketegaran hati, dll. Semoga Tuhan membantu kamu untuk melihat dengan jelas.”
“Mereka yang terpanggil untuk hidup aktif harus berkomitmen dengan kesetiaan yang besar! Jika tidak demikian, aturan yang telah ditetapkan oleh Penyelenggaraan Ilahi, namun mereka harus hati-hati untuk mencegah ilusi. Mereka akan menipu diri seakan-akan mereka tidak punya waktu tetap untuk latihan rohani dalam hidup kontemplatif.”
“Kerjakanlah selalu karya amalmu dengan semangat iman, arahkanlah pandangan matamu kepada Tuhan. Serahkanlah dirimu, lupakanlah dirimu sendiri sama sekali, dengan menjadi teladan kemurahan hati. Dan bilamana kamu merasa letih dan hampa, pergilah kepada Tuhan, dan ketuklah pintu Gurumu. Bagi mereka yang mengira bahwa mereka dapat sepenuhnya mengandalkan kekuatan mereka sendiri, mereka menipu diri. Tangan Tuhan yang maha kuasa melepaskan mereka yang menyombongkan diri. Mereka ditinggal dalam kelemahan dan kerapuhan mereka sendiri. Untuk mampu mengasihi dengan segenap hati, pikiran, dan hidup, kita harus mengandalkan rahmat Tuhan.”
Jadi, Triest sampai pada visi dan interpretasinya tentang misi untuk berdoa terus-menerus:
“Apa artinya berdoa senantiasa atau berdoa dengan tak putus-putusnya? Apakah itu berarti berlutut sepanjang waktu, melipat tangan kita atau mengangkatnya ke arah surga, sambil selalu mendoakan doa Bapa Kami, Rosario atau doa lainnya, baik dari buku maupun hafalan, baik secara lisan maupun dalam hati? Ataukah selalu berpikir tentang Tuhan dan segala hal ilahi dengan penuh perhatian dan rajin? Sama sekali tidak, karena kita memiliki begitu banyak kekhawatiran, keprihatinan, yang bahkan diperlukan, bahwa doa semacam itu sama sekali mustahil dalam hidup kita: Tuhan pun tidak menginginkan atau memerintahkan hal it. ‘Tetapi selalu berdoa atau doa tak kunjung henti,’ kata St. Agustinus, ‘tak lain ialah mendambakan hidup terberkati itu, yang abadi, sepanjang waktu dari Dia yang adalah satu-satunya yang dapat memberikannya.’ Betapa mudahnya, betapa cepatnya kasih kita dan hasrat kita akan Tuhan dan hidup abadi dalam Tuhan mengecil, bahkan padam... kecuali jika kita kerap menyalakannya dan mengobarkannya kembali dengan sarana pemikiran-pemikiran saleh dan meditasi yang suci.”
5.6.4. Akhirnya, kita dapat belajar satu atau dua hal dari jadwal harian Triest, sebagaimana kita tahu dari masa yang dia lewatkan di Renaix (1797-1802). Yakni suatu periode dimana dia dipaksa untuk hidup dalam persembunyian.
“Sesudah menditasi, mendoakan ibadata Prima dan Tersia. Lalu menyiapkan khotbah dan pelajaran, dll. Menyiapkan perayaan ekaristi. Mendoakan sepuluhan salam Maria dari rosario, lalu belajar. Jam 11:00 mendoakan ibadat Seksta dan Nona. Melewatkan waktu untuk adorasi Hati Kudus. Meditasi kedua diambil dari buku ‘Pugna Spiritualis’. Memeriksa batin, makan siang, rekreasi. Jam 14:00, Ibadat Matina dan Laudes. Jam 19:00 makan malam. Setiap malam berlutut di kamar tidur dari jam 21:00 s.d. 22:00, membaca satu bab Kitab Suci, satu paragraf buku pepatah Steyaert dan satu bab buku rohani. “
Sekilas pintas ini merupakan suatu program yang cukup padat, yang mungkin sulit untuk direalisir dalam masa dan usianya waktu itu. Tampaknya ini merupakan suatu program yang lebih cocok untuk para rahib yang hidup di dalam biara pertapaan yang terorganisir dengan baik. Namun, ini benar-benar jadwal harian seseorang yang dikenal sangat aktif, penuh usaha, sibuk, yang keseluruhan keberadaan dan hidupnya terorientasi pada kesejahteraan sesama.
Jadwal harian ini dibuat pada saat Triest terpaksa hidup dalam persembunyian, dan melaksanakan tugas-tugas imamatnya dengan diam-diam. Ini mengajarkan kita sejumlah hal tentang hidup doanya. Ini menggambarkan bagaimana teraturnya dia biasa berdoa. Dia tidak hanya berdoa pada saat dia benar-benar ingin atau berminat untuk berdoa. Dia berdoa secara teratur pada waktu-waktu yang telah ditentukannya, entah dia punya inspirasi ataupun tidak, entah dia itu dalam keadaan baik maupun tidak. Dia sangat mementingkan doa batin, dan pemeriksaan batin, untuk membuka diri terhadap pengaruh Roh Kudus. Mungkin sekali ia tergerak oleh teks St. Paulus yang memang sangat cocok dengan hal ini: “Sebab kita tidak tahu bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan” (Rom. 8:26). Roh inilah yang berdoa dalam hati kita, dan semua yang harus kita lakukan ialah untuk mengheningkan cipta, meninggalkan semua kekhawatiran dan kesibukan kita sehari-hari, dan mendengarkan apa yang Tuhan harus sampaikan kepada kita.
Akhirnya, jadwal harian ini mengajarkan kita sesuatu tentang sifat doanya. Yakni bersifat biblis (bacaan mazmur dan kitab suci), Marianis (mendoakan rosario), ekaristis (mementingkan ekaristi), serta ditandai dengan kedekatan khusus dengan Hati Kudus (terbuka terhadap kasih Allah, yang diberikan kepada kita dalam rupa kasih Yesus). Doa benar-benar menjadi nada dasar hidup Rama Triest yang berkembang menjadi api yang tak terpadamkan. Dia dengan baik sekali membuat suatu perbandingan tetang hal ini:
“Dalam Perjanjian Lama, Allah menetapkan bahwa harus selalu ada api di atas altar kenisahNya. Supaya api ini selalu bernyala, imam harus meletakkan kayu di bawahnya dari waktu ke waktu, khususnya setiap pagi. Api abadi merupakan simbol kasih, tokoh-tokoh gereja berkata bahwa kasih harus selalu bernyala dalam hati umat kristiani seperti altar rohani. Supaya ini terus bernyala, api ini harus dipelihara dan dikobarkan dengan meditasi sehari-hari tentang misteri-misteri dan kebenaran-kebenaran ilahi. Kemudian, sebagaimana layaknya api, khususnya yang ditiup oleh angin dari segala penjuru, tidak dapat tetap bernyala kecuali dipelihara dan diberi bahan bakar entah kayu atau minyak secara teratur, begitupun api ilahi, sebagai api rohani, yang dapat ditiup oleh banyak angin antara lain godaan-godaan kejahatan di dunia, tidaklah dapat tetap bernyala tanpa terus menerus diberi bahan bakar melalui meditasi tentang hal-hal ilahi.”
Kami ingin memberikan perhatian terhadap aspek Marianis dari doa Rama Triest. Rama Triest melakukan devosi luar biasa terhadap Maria karena ia menganggapnya sebagai Bunda Tuhan, dan seorang pembela yang penuh kuasa bersama puteraNya. Dia mencari inspirasi sikap dasar Maria, sebagaimana dilukiskan dalam “magnificat”, dan dia menganjurkan doa rosario sebagai cara meditasi tentang misteri-misteri iman kita. Maria sebagai Bunda, pembela, hamba yang rendah hati, dan pembimbing iman kita. Ini semua kita pandang sebagai kesan-kesan Rama Triest tentang Maria.
Kita boleh mendekati Maria, Bunda dan Pembela kita, teladan kita yang menjadi hamba yang rendah hati saat kita memenuhi panggilan kita dalam doa-doa. Ini merupakan ungkapan kasih kita kepadanya.
“Maria memiliki hati seorang ibu bagi kita, hati yang penuh kasih, penuh kelembutan, selalu siap membantu kita. Jadi, tidaklah diragukan lagi bahwa kita melakukan devosi yang besar kepada Ratu Surga dan Bumi ini, dan bahwa, sebagai hasilnya, kita berdoa setiap hari dengan penuh hormat kepadanya dan untuk mengenang dia. Namun di antara semua doa, rosariolah yang menjadi doa yang paling ia cintai. Seseorang yang mendoakan rosario dengan penuh devosi itu seperti seekor lebah rohani yang hinggap pada bunga-bunga yang terindah, dengan kata lain; tentang misteri-misteri utama kehidupan Yesus untuk mengisap daripadanya madu kesalehan. Sementara kita bekerja seperti seorang budak atau beristirahat ataupun tidur ada ribuan jiwa yang suci dan pantas yang pada saat yang bersamaan mendoakan rosario suci dengan penuh semangat untukmu dan untuk mereka sendiri. Mereka berdoa tak kunjung putusnya kepada Tuhan agar memberikan kepadamu rahmat dan belas kasihan.
Rama Triest mendorong semangat umat parokinya untuk terus mendoakan rosario. Dia menganggap hal ini sebagai sarana pertobatan, dan suatu jalan yang baik untuk mengantisipasi hidup kekal:
“Gigihlah, wahai para kekasih Maria, apa yang tak dapat kita capai melalui teguran atau nasihat dapat kita peroleh melalui rosario; semakin banyak devosi kita kepadanya semakin banyak dosa kita yang akan berkurang, penyalahgunaan akan sirna. Tiga dosa besar di paroki saya akan berkurang, yakni kemabokan, penghojatan, dan ketidakmurnian. Dia akan datang menolong kita pada saat ajal sebagai ibu sejati yang baik hati. Dengan senang hati ia akan memberitahu mereka: ‘Kerap kali kamu menyalami aku sepanjang hidupmu maka kini aku datang untuk menghibur kamu dalam penderitaanmu; kamu telah begitu sering memanggil aku penuh rahmat maka aku kini datang untuk mencurahkan ke dalam jiwamu kelimpahan rahmatku; kamu begitu sering menyebut aku bahwa Tuhan besertaku, maka kini aku berkata kepadamu bahwa kamu akan berada bersama Tuhan dalam keabadian; kamu telah menyebut aku begitu seirng “Terpujilah engkau di antara wanita dan terpujilah buah tubuhmu,’ maka kini aku berkata kepadamu bahwa kamu akan diberkati pula!”
Bibliografi
Devestel, Waldebert, In Gods kracht gedragen. Ghent, Broeders Van Liefde, n.g., hal 369.
Freeman, Laurence, Sprekende stilte, over christelijke meditatie. Tielt, Lannoo, 2000
Moved by Charity, Constitution of the Brothers of Charity, Rome, 1986, hal. 166
Main ,John, Van woord naar stilte, Tielt, Lannoo, 2000, hal. 134
Stockman, René, Demaat van de liefde is liefde zonder maat. Keuven, Davidsfonds, 2000 (hal 113)
Stockman René: Vader Triest: 20 Meditations. Ghent, Broeders van Liefde, 2002, hal. 96
Vita Consacrata - www.vatican.va;
Langganan:
Postingan (Atom)